Rabu, 03 Juli 2013

GAME DAN AGRESIVITAS ANAK*

Oleh : Rahadian Akbar, S.T.

             Bermain bagi anak merupakan salah satu aktivitas yang selalu melekat pada diri anak. Bagi mereka, bermain juga merupakan salah satu sarana untuk belajar dan mengasah keterampilan mereka baik secara kognitif, afekktif maupun motorisnya tergantung dari jenis permainan yang mereka mainkan. Salah satu contoh permainan yang menggabungkan kemampuan kognitif dan motorik halus adalah permainan video game.

Permainan video game awalnya berkembang pada tahun 1970an dalam bentuk mesin game yang dioperasikan oleh koin, namun seiring waktu dan perkembangan teknologi saat ini video game telah merambah berbagi media digital yang ada. Beberapa platform game yang banyak dikenal di Indoneisa adalah PC (Personal Computer) (termasuk notebook, dan netbook), PS (Playstation),Wii, Xbox, dan Android (biasanya untuk smartphone dan computer tablet).

Pada saat anak bermain video game, aktivitas terbesar terjadi pada otak mereka yang dirangsang oleh ketertarikan terhadap gambar-gambar yang disajikan. Oleh karena itu kemudian bermain game diklaim dapat (1) Mengajarkan cara berpikir kritis dan memecahkan masalah, (2) Mengajarkan cara bekerja sama, (3) Mengajarkan tentang kegagalan, (4) dan mendatangkan perasaan senang (http://theglobejournal.com)
Namun di luar itu semua, bermain video game ternnyata dapat memicu kecenderungan agresitivitas pada anak. Penelitian yang mengkaji mengenai hubungan agresivitas dan video game dilakukan pada tahun 2000 oleh Anderson dan Dill (2000). Hasil yang didapatkan antara lain adanya hubungan positif antara perilaku kejahatan agresif dengan bermain video game yang mengandung kekerasan. Perilaku kejahatan non-agresif juga berhubungan secara positif dengan sikap agresif dan bermain video game kekerasan.
Baron (1977) mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk tingkah laku yang ditujukan untuk membahayakan; merugikan; atau menyakiti makhluk hidup lain yang tidak ingin diperlakukan demikian. Definisi ini mencakup: agresi sebagai tingkah laku, terbatas pada tingkah laku yang disengaja, agresi fisik dan verbal, ditujukan untuk makhluk hidup.
Salah satu contoh kasus nyata dari hubungan permainan game dan agresivitas adalah peristiwa pada tahun 2011 di Amsterdam Belanda, ketika seorang pria berumur 24 tahun bernama Tristan van der Vlis melemparkan tembakan membabi buta di sebuah shopping mall di Alphen aan den Rijn, 33 kilometer barat daya Kota Amsterdam. Setelah melakukan aksinya tersebut, Tristan menembak dirinya sendiri. Peristiwa tersebut memakan enam korban jiwa dan 17 orang luka-luka. Belakangan, diketahui bahwa tindakan agresif Tristan disebabkan game yang dimainkannya, Call of Duty: Modern Warfare 2 (Hope, 2011).
Game PC berbau kekerasan memang mencemaskan banyak pihak karena efek yang ditimbulkannya jika dimainkan secara terus-menerus. Apalagi jika para pemainnya adalah anak-anak yang dengan mudah menyerap hal yang dialami atau dilihatnya dan mengaplikasikannya ke kehidupan nyata. Game-game kekerasan yang populer di kalangan anak-anak umumnya berbentuk game menembak (first person shooter/FPS) seperti Conter Strike, dan Point Blank.
Namun berdasarkan pengamatan saya pribadi semasa menjadi pegawai Game Center merangkap teknisi selama hampir 3 tahun saat kuliah dulu, pemain yang tampak agresif adalah mereka yang justru tidak memainkan permainan yang berbau kekerasan. Permainan yang lebih menyulut agresivitas adalah  pemainnya adalah justru permainan sepakbola playstation seperti Winning Eleven mapun Pro Evolution Soccer (PES).
Perilaku agresif yang mereka tunjukkan di antaranya adalah menggebrak-gebrak meja, menendang kursi, memukul-mukul tembok, berteriak-teriak, memaki dengan kata-kata yang sangat kasar, bahkan ada pula yang sampai membanting stick game yang mereka pegang secara tidak sadar. Perilaku ini umumnya terbawa saat mereka tidak lagi bermain game yang tampak melalui bahasa tubuh dan bahasa verbal yang mereka gunakan saat berkomunikasi dengan teman sebayanya maupun teradang ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.
Pengamatan saya tersebut sesuai dengan hasil penelitian dua psikolog dari Universitas Huddersfield, Inggris, Dr. Simon Goodson dan Sarah Pearson, menemukan bahwa game sepakbola menimbulkan reaksi fisikal dan emosional yang lebih besar ketimbang game action yang berbau kekerasan. Penelitian yang dipresentasikan di Konferensi Tahunan Komunitas Psikologi Inggris, tersebut meneliti respon yang terjadi di dunia nyata atas sebuah peristiwa atau masalah, akan sama dengan respon yang timbul akibat bermain video games.
Sebanyak 40 pria dan wanita dipilih secara acak untuk memainkan game kekerasan atau game sepakbola. Pengukuran dilakukan berdasarkan denyut jantung, pernafasan, dan aktivitas otak sebelum dan selama bermain. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa terjadi aktivitas yang kecil saat partisipan melakukan “pembunuhan” di sebuah game yang berbau kekerasan. Namun, saat berhasil pemain berhasil mendapatkan gol atau melakukan pelanggaran (foul), level aktivitas otak pun meningkat tajam (Hope, 2011).
Memperkenankan anak bermain game merupakan pilihan masing-masing orang tua. Namun ketika kita memutuskan untuk membolehkan anak bermain game hendaknya kita benar-benar memilihkan game terbaik bagi anak yang lebih banyak mendatangkan kemanfaatan daripada keburukan. Kalau perlu anak-anak kita dampingi saat bermain sembari memberikan pengawasan dan pengarahan kepada mereka.

* Telah dimuat dalam Buletin Salman 3, Mei 2013

Rujukan
Anderson, C. A., Dill, K. E. (2000). Video games and aggressive thoughts,feelings, and behavior in the laboratory and life. Journal of Personalityand Social Psychology, 78, 772–90.

Baron, Robert A. 1977. Human Aggression. New York: Plenum Press

Hope, Jenny, 2012. Playing football games on computers 'makes you more aggressive', http://www.dailymail.co.uk

 “Video Game Picu Kecerdasan”, dalam http://theglobejournal.com


Rabu, 05 Desember 2012

BELAJAR MENJADI ORANGTUA YANG EFEKTIF


Oleh
Miftahul Jannah, S.Psi*
(Wali Zahro KB SAF 3)

            Tugas sebagai orangtua sesungguhnya merupakan tugas yang amat sukar. Berjuta-Juta kaum Ibu dan Ayah yang masih muda menerima tugas yang paling sulit setiap tahunnya, yaitu memeperoleh bayi, seorang manusia kecil yang hampir tidak berdaya sama sekali. Ayah dan Ibulah yang mengemban tanggungjawab mengasuh, membesarkan serta mendidiknya. Apabila terjadi permasalahan terhadap anak kerap orangtua yang menjadi pihak yang disalahkan. Lantas siapakah yang membela orangtua? Berapa banyak usaha yang dilakukan untuk membantu orangtua agar lebih efektif dalam membesarkan dan mendampingi anak- anak mereka? Sesungguhnya saat ini sudah cukup banyak media yang dapat dipilih orangtua untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam pengasuhan anak, tinggal memilih dan memilah mana yang dirasa sesuai dengan tipologi keluarga maupun karakter orangtua sendiri.
            Kali ini Saya ingin menyajikan salah satu metode yang insyaALLOH dapat orangtua  terapkan dalam pengasuhan anak- anak di rumah, yaitu menerapkan “bahasa penerimaan”. Jika seseorang dapat merasa dan dapat mengungkapkan bahawa ia memahami serta menerima orang lain sebagaimana adanya, itu merupakan satu factor penting guna menjalin s uatu hubungan, dimana orang lain dapat tumbuh, berkembang, memecahkan masalah, produktif dan kreatif, serta mampu mengaktualisasikan potensi sepenuhnya. Demikian halnya orangtua terhadap anak. Bila anak merasa sepenuhnya diterima sebagaimana adanya, maka ia akan merasa bebas mengekspresikan dirinya dan dapat mengembangkan dirinya serta menjadi lebih baik daripada saat ini.
            Bagi orangtua, merasa ‘menerima’ anak dan menunjukkan perasaan tersebut sehingga merasakannya adalah dua hal yang berbeda. ‘Rasa menerima’ tidak aka nada pengaruhnya bagi anak bila anak tidak merasakannya. Kebanyakan orangtua menganggap bahwa “rasa menerima” merupakan sesuatu yang pasif, suatu keadaan jiwa, suatu sikap, suatu perasaan. Benar,  rasa ini berasal dari dalam tetapi agar merupakan suatu kekuatan efektif dalam mempengaruhi orang lain, haruslah secara aktif dikomunikasikan atau diperlihatkan.

MENYAMPAIKAN RASA MENERIMA TANPA KATA- KATA
            Pesan- pesan dapat disampaikan melalui kata- kata (verbal) maupun tanpa kata (nonverbal). Pesan- pesan nonverbal disampaikan melalui isyarat, sikap, ekspresi wajah, atau tingkah laku lainnya. Arahkan telunjuk akan diterima sebagai isyarat “pergi”, “jangan dekat- dekat” atau “ Aku sedang tidak mau diganggu”. Melambaikan tangan kea rah tubuh akan diterima sebagai isyarat  untuk “mendekat”, “kemarilah” atau “Aku ingin kamu bersamaku”. Pesan pertama menunjukkan rasa tidak menerima dan yang kedua menunjukkan rasa menerima.
            Orangtua juga dapat menunjukkan rasa menerima dengan tidak mencampuri kegiatan- kegiatan anaknya. Seorang anak mencoba membuat istana dari pasir misalnya. Dia menumpahkan air dan bentuk istananya sama sekali tidak menyerupai istana.  Tetapi orangtua tidak mengatakan kepada anak bahwa dia sudah membuat kotor dan istananya  jelek, melainkan ia mebiarkan saja sang anak bereksplorasi dengan kegiatannya. Sikap orangtua yang demikian akan membuat anak merasa “ Apa yang kulakukan baik”, “ Ibu/Ayah menerima apa yang kulakukan”. Dalam hal ini, tidak mencampuri anak yang sedang sibuk melakukan sesuatu adalah cara penyampaian rasa menerima tanpa kata.

MENUNJUKKAN SIKAP MENERIMA DENGAN MENDENGAR SECARA PASIF
            Tidak mengatakan sesuatu juga merupakan cara penyampaian rasa menerima.  Diam atau ‘mendengar pasif’ merupakan pesan tanpa  kata yang efektif untuk membeuat seseorang merasa diterima. Seperti contoh berikut ini:
Anak   : “Ayah, tadi temanku tidak mau berbagi kue.”
Ayah   : “Oh, ya?”
Anak   : “Iya, dia memakan kue sendirian walau pun sudah disuruh berbagi oleh Ibu guru”.
Ayah   : “Begitu”
Anak   : “Iya, hari ini aku tidak suka padanya, karena dia tidak mau berbagi.”
Ayah   : “Hmmm….”
Anak   : “Seharusnya sesame muslim saling berbagi ya, Yah.”
Ayah   : “ Hmmm….”
Anak   : “ Kalau aku pasti akan selalu berbagi kepada teman- temanku, supaya aku disayang ALLOH.”
            Dalam adegan singkat di atas, orangtua yang mendengarkan dengan pasif memungkinkan anak melihat lebih jauh daripada sekedar melaporkan bahwa temannya tidak berbagi kue.

MENGUTARAKAN PENERIMAAN DENGAN KATA- KATA
            Bicara memang penting, tetapi bagaimana orangtua berbicara kepada anak- anak adalah lebih menentukan. Berikut adalah 12 ciri tanggapan orangtua ketika berbicara dengan anak- anak mereka dan ternyata merupakan tanggapan yang destruktif.
1.      Memerintah, mengarahkan: mengatakan kepada anak untuk  mengerjakan sesuatu, memberi perintah:
“Jangan mengeluh!”
“Jangan  bicara seperti itu kepada Ibu!”
2.      Mengancam, memperingatkan; mengatakan akibat- akibat yang akan terjadi bila anak melakukan sesuatu:
“Sekali lagi seperti itu, kau tidak boleh bermain sepak bola lagi.”
“Awas ya kalau berbuat seperti itu lagi.”
3.      Mendesak; mengatakan apa yang harus atay boleh dilakukan:
“Kamu harus selalu hormat pada orangtua.”
“Kamu tidak boleh  berbuatu begitu.”
4.      Menasihati, member penyelesaian atau saran- saran; mengatakan bagaimana cara menyelesaikan suatu masalah, member nasihat, menyediakan jawaban atau penyelesaian bagi masalah anak:
“Masuk saja ke SD X.”
“Ayah sarankan agar kamu membicarakan hal tersebut kepada gurumu.”
5.      Memberi kuliah, mengajari, member alasan logis; berusaha mempengaruhi anak dengan fakta- fakta, kontra argument, logika, informasi, atau pendapat pribadi:
“Lihatlah, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus Ibu kerjakan, karena itu kamu harus membantu Ibu.”
“Waktu Ibu seumur kamu, pekerjaan rumah yang harus Ibu kerjakan dua kali banyak daripada yang kamu kerjakan.”
6.      Menilai, mengkritik, menyalahkan, tidak setuju; membuat penilaian negative atau member pendapat negatif:
“Itu karena  kamu tidak memikirkannya dengan baik.”
“Dalam hal ini, kamu salah.”
7.      Memuji, menyetujui; melontarkan pujian, menyetujui, member penilaian positif:
“Anak seperti itu memang harus dimusuhi.”
“Menurut Ayah kamu memang benar.”
8.      Mencemooh, membuat malu; membuat anak merasa bodoh, menggolongkan anak dalam satu kategori, membuat malu:
“Kamu ini memang anak manja.”
“Dasar cengeng, begitu saja kamu sudah menangis.”
“Kenapa kamu sok tahu sekali?”
9.      Membuat interpretasi, menganalisa, mendiagnosis; mengatakan pada anak apa motivasinya, menganalisa mengapa anak melakukan atau mengatakan sesuatu:
“Itu hanya karena kamu iri hati.”
“Kamu ingin merayu Ibu, kan?”
10.  Meyakinkan, member simpati, menghibur, mendorong; berusaha agar anak merasa senang, menghilangkan perasaan- perasaan yang tidak menyenagkan, member dorongan:
“Besok kamu akan merasa lebih baik.”
“Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan.”
“Jangan khawatir, segalanya pasti akan beres.”
11.  Menyelidiki, mengusut; berusaha mencari alasan, sebab-sebab, untuk menolong menyelesaikan masalah:
“Mengapa kamu tidak suka sekolah?”
“Kapan perasaan itu mulai timbul?”
12.  Menghindar, mengalihkan perhatian, membelokan; berusaha menjauhkan anak dari masalahnya, menarik diri dari persoalan, emngalihkan perhatian, mengolok- olok:
“Sudah lupakan saja.”
“Tidak usah dibicarakan sekarang.”
“Kita bicarakan saja hal- hal yang menyenangkan.”

MEMBUKA PINTU
            Salah satu cara efektif dan konstruktif dalam menanggapi ungkapan perasaan anak- anak adalah ‘membuka pintu’ atau ‘mengundang  untuk berbicara lebih banyak’. Ini adalah tanggapan- tanggapan yang tidak berhubungan dengan pendapat, gagasan, atau perasaan si pendengar, namun yang mengundang anak untuk membagi pendapat, gagasan, atau perasaan- perasaannya dengan cara “Mendengar Aktif”, yaitu menguraikan perasaan anak dengan tepat dengan berusaha mengerti arti pesan yang disampaikan. Kemudian pengertian tersebut dinyatakan dalam kalimat dan dikirim kembali kepada anak. Contoh tanggapan sederhana dalam mendengar aktif adalah sebagai berikut:
“Ya”
“Bagus sekali”
“Hmm”
“Bagaimana?”
“Oh, begitu?”
“Coba ceritakan”
“Ceritakan lebih banyak lagi”
            Membuka pintu atau menyilakan bicara dapat emudahkan komunikasi. Hal itu mendorong orang untuk mulai atau meneruskan pembicaraan. Cara ini juga membuat masalah pada tempatnya, yaitu masalah anak; cara ini tidak mengakibatkan pengambilan masalah dari anak, sebagaimana halnya bila orangtua mengajukan pertanyaan- pertanyaan, member nasihat, mengajari, dan sebagainya.

Obat Radang Tenggorokan Alami


Oleh :
Dwi Utami AMD.Giz

Obat Radang Tenggorokan Alami
            Radang tenggorokan memang kerap menimpa seseorang. Penyebab radang tenggorokan sendiri memang bermacam- macam, tapi umumnya kondisi ini akan dialami seseorang karena daya tubuhnya sedang menurun. Saat daya taha tubuh menurun, disinilah virus dengan mudah menyerang dan menyebabkan  terjadinya peradangan pada tenggorokan.
Berbagai hal yang bisa menyebabkan kondisi daya tahan tubuh menurun dan memicu radang tenggorokan adalah seperti gaya hidup yang kurang sehat,  tidur terlalu larut malam, mengkonsumsi makanan yang terlalu pedas, bahkan kondisi cuaca yang kadang berubah dengan ekstrem juga dapat menjadi pemicu.
Obat Radang Tenggorokan Alami
Pada kesempatan ini akan dipublikasikan kepada teman- teman tentang  cara menyembuhkan radang tenggorokan dengan obat radang tenggorokan yang alami. Dengan demikian, maka obat radang tenggorokan yang akan disampaikan pada tulisan ini cocok digunakan sebagai obat radang tenggorokan anak balita dan juga obat radang tenggorokan untuk ibu hamil, serta ibu menyusui. Adapun obat radang tenggorokan alami ini terdiri dari 3 macam dan dengan mudah dapat ditemukan didapur Anda. Apa saja obat radang tenggorokan alami tersebut? Berikut adalah penjelasannya:
1.      Berkumur dengan Air Garam
Mengatasi radang tenggorokan secara tradisional bisa dilakukan dengan cara berkumur dengan air hangat yang dicampur dengan garam dapur. Campurkan satu sendok the garam kedalam air hangat. Dan cobalah melakukan ini satu kali dalam sehari, atau sesuaikan dengan kebutuhan. Dalam hal ini gunakan air hangat dan bukan air panas.
2.      Madu dan Air hangat
Satu sendok makan madu yang dicampur air hangat dan lemon adalah obat alami yang baik untuk radang tenggorokan. Ramuan madu dan campuran air hangat ini dapat melapisi tenggorokan dan menenangkan iritasi.
3.      Bawang putih
Bawang putih juga bisa dilakukan untuk mengatasi radang tenggorokan. Caranya adalah dengan menghangatkan satu atau dua suing bawang putih dalam microwave selama 10 hingga 15 detik. Bawang putih yang sudah dihangatkan kemudian ditekan dan dimakan langsung. Hal ini dapat dilakukan sekali dalam sehari, hingga sakit radang tenggorokan mereda. Demikianlah beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mengatasi radang tenggorokan yang sedang kamu alami. Namun dalam hal ini perlu juga kita eketahui tentang cara pencegahan  terjadinya radang tenggorokan yang berulang- ulang terjadi. Adapun cara mengatasinya dapat dilakukan dengan menjaga pola hidup sehat agar daya tubuh selalu terjaga.

Rabu, 30 November 2011

ANEKDOT (1)


          Hot Whell

          Saat itu B Laba-laba sedang makan siang dan di situ terjadi obrolan antar anak, mereka sedang membicarakan tentang mainannya. Mainan yang mereka bicarakan adalah “Hot Whell”. Kata Gading, “Aku punya hot whell banyak dan baguuuss sekaliiiii.” Lalu Ahmad juga mengatakan bahwa dia punya hot whell banyak dan baguuuuuss sedunia. Lalu Hamas berkata “Aku punya hot whell yang sangat bagus dan tidak ada yang menandingi, juga belum pernah ada yang melihat.” Semua temannya lalu bertanya, “Aku mau tahu hot whell yang seperti apa?” Hamas mengatakan aku harus jadi anak yang sholeh dan besok aku di surga aka di beri hot whell yang bagus dari Allah SWT yang belum pernah dilihat orang, he.... Benar  kan......

           Hari Pahlawan

         Pada hari Kamis, 10 November 2011 siswa PAUD IT Salman Al Farisi 3 (dari kelompok Lebah sampai dengan TK B) jalan-jalan ke lapangan dan apel pagi bersama untuk memperingati Hari Pahlawan.
       Pada saat apel pagi, ibu guru mengadakan dialog berupa petanyaan tentang seorang tokoh/pahlawan nasional.
          Bu Guru: “Anak-anak, siap nama pahlawan kita yang pada saat berjuang membawa pedang di tangan kanan dan keris di tangan kiri?”
        Tiba-tiba Azzam menjawab dengan bersemangat, “Rafi...!!!”. Semua spontan menjadi tertawa, karena memang pada hari selasa sebelumnya, Rafi membawa pedang mainan besar. Bu Guru pun segera meluruskan bahwa nama pahlawan yang dimaksud adalah Pangeran Diponegoro. Anak-anak pun mengiyakan sebagai tanda memahami apa yang disampaikan oleh Bu Guru.
            “Selamat Hari Pahlawan. Semoga kita bisa meneladani semangat perjuangan para pahlawan kita... Amiin...”

* Diterbitkan dalam Buletin Suara Salman 3 Edisi November 2011

Selasa, 29 November 2011

DIET TELEVISI


oleh: Ibu Dwi Utami (Guru Kelas TK B)

       Anak adalah asset yang sangat berharga bagi orang tua dan kehidupan yang akan dastang. Oleh sebab itu dalam mengawasi anak dalam menonton TV perlu pendampingan dan pengawasan dr. Ariani mengatakan bahwa akhir-akhir ini beliau perlu konsetrasi melakukan diet teve untuk ke dua buah hati. Masalah ini timbul ketika keluarga beliau terpaksa harus menumpang di orangtua dengan berbagai perimbangan Di rumah neneknya, televise terbiasa menyala 24 jam sehari, bahkan ketika tidak ada yang menonton.

     Sehinga menonton tv menjadi kebiasaan baru buah hatinya. Dan ternyata anyak keluarga banyak keluarga yang mengalami masalah seperti yang beliau alami. dr. Ariani memberikan data dari majalah Ummi; dari Penelitian UNDIP dalam menyiapkan baseline data untuk Pendidikan Media 2008 mendapati mayoritas anak-anak yang diteliti mengaku menghabiskan waktu 3-5 jam pada hari sekolah dan 4-6 jam pada hari libur untuk menonton televise. Bahkan beberapa dari mereka secara ekstrim menonton TV 16 jam pada hari libur. Sebesar 72,9% anak-anak yang menjadi responden Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) 2009 menonton TV selama 4,3 jam pe hari. Padahal menrut Kepala Divisi Informasi Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia Bobi Gutarto menyarankan agar bayi USIA 0-3 th tidak perlu diberi suguhan televisi. Untuk anak SD pun TV hanya boleh ditonton sebanyak 2 jam sehari.

       Jumlah jam menonton itu sendiri didukung jumlah tayangan anak yang kian beragam di banyak stasiun tv. Pada pekan ketiga Maret 2009 diperoleh data total durasi program anak di semua teve swasta adalah 125 jam. Namun ternyata, 6% anak-anak menonton komedi situasi dan 5,9% menonton sinetron remaja. Bahkan ABG Nielsen (2008) menemukan, bahwa top 10 program yang ditonton anak-anak 5 tahun ke atas adalah reality show “Termehek-mehek” dan “Me vs Mom”.

Kenapa ya, anak suka nonton TV?
Menurut Rubin, seorang peneliti media, sejumlah motivasi bagi anak dan remaja menonton teve:
1.      Relaksasi. Bagi banyak anak, menonton membuat mereka rileks dan santai.
2.      Menjadi teman. Menonton teve ibarat teman teman yang membuat anak tidak merasa kesepian
3.      Karena kebiasaan. Saking seringnya dilakukan, menonton teve bisa menjadi kebiasaan. Apalagi kalau tidak ada aturan menonton teve dirumah.
4.      Menghabiskan waktu. Banyak anak yang akhirnya lari ke teve karena tidak punya kegiatan lain yang harus dilakukan. Banyaknya waktu luang membuat mereka menonton teve.
5.      Untuk interaksi sosial. Menonton teve bisa menjadi kegiatan bersama dengan teman-teman-temannya. Selain itu menonton teve bisa menjadi kegiatan bersama dengan teman-temanya. Selain itu menonton teve bisa menjadi bahan obrolan yang mengasyikan dengan teman dan sahabat.
6.      Mendapatkan informasi. Teve dianggap dapat memberikan info mengenai hal-hal baru dan kejadian di sekeliling mereka.
7.      Seru, menarik dan semangat. Bagi banyak anak, menonton teve itu seru, menarik dan membangkitkan semangat. Pernah melihat anak-anak terpaku menyaksikan film animasi avatar atau naruto? Bagi mereka tononan seperti itu seru dan membuat semangat.
8.      Melarikan diri (escape). Melepaskan diri dari kewajiban, keluarga atau hal yang tidak ingin dikerjakannya.
9.      Hiburan. Televisi adalah hiburan yang murah meriah, mudah di dapat di mana saja.

Kenapa Harus Diet?
1.      Banyaknya tontonan kekerasan dan supranatural. Hendriyani dkk (2009) menemukan bahwa program anak-anak yang tersedia mulai pukul 04.30-20.00 WIB adalah program import yang bekategori animasi. Yang temanya sebagian besar kekerasan dan supranatural. Adegan kekerasan berpotensi membuat anak meniru kekerasan serupa. Mungkin masih segar dalam ingatan kita kasus meninggalnya Reza Ikhsan Fadilah (9) tewas setelah dipelintir ketiga temannya yang meniru adegan smackdown.
Ada yang lebih heboh lagi. Pada tahun 1999 Amerika digemparkan dengan peristiwa penyanderaan sebuah sekolah menegah di Kota Littleton selama 5 jam. Penyanderaan dilakukan oleh 2 orang siswa sekolah tersebut. Tidak main-main,penynderaan dilakukan dengan memakai senjata api. Tragedi berdara ini menelan korban tewas 12 orang dan seorang guru serta mencederai 23 orang. Penyanderaan berakhir dengan bunuh diri 2 orang penyandera tersebut dengan cara menambak diri mereka sendiri.
Setelah diselidiki, ternyata motif mereka malakukan hal tersebut semata demi membaangkan diri mereka tengah berada dalam cerita serupa dalam video yang mereka tonton. Tragis!
Hati-hati juga dengan tayangan berita kriminal di televisi, hal ini dapat mengganggu pola pikir anak. Misalnya berita pembunuhan atau bunuh diri dengan memperlihatkan kondisi mayat yang megenaskan. Anak-anak bisa menjadi teinspirasi dan beniru bentuk penyelesaian masalah yang dilihat dari televisi, tanpa mempertimbangkan dampaknya.
Sedangkan tayangan supranatural berpotensi syirik yang akan megotori akidah anak-anak. Anak akan terpesona dengan kekuatan benda gaib, tokoh jagoan dan melupakan Allah SWT.
2.      Banyak yang tidak bermutu
3.      Mengganggu interaksi sosial
4.      “Coach Potato Problem”
Duduk berlama-lama menonton menyebabkan kegiatan fisik anak-anak berkurang. Dan jika nonton dilakukan sambil ngemil, dapat menimbulkan gangguan “Coach Potato Problem” atau kegemukan. Istilah ini menggambarkan postur tubuh anak yang seperti kentang duduk. Bentuk tubuh ini dapat mengganggu perkembangan motorik kasar dan motorik halusnya.
5.      Dapat menyebabkan gangguan fisik

Diet TV, Yuk!
            Fakta-fakta diatas tentu membuat kita miris. Yuk kita galakkan diet tv:
  1.     Mulai dari diri sendiri
  2.     Jika memungkinkan, diskusikan bahaya TV untuk anak dengan orang-orang di rumah.
  3.     Membuat aturan menonton TV.
  4.     Pendampingan ketika menonton TV.
  5.     Beralih ke TV kabel atau nonton DVD.
  6.     Membuat sebanyak-banyaknya alternatif kegiatan.
  7.     Menciptakan nuansa spiritual di rumah.

(http: //parentingislami.wordpress.com)

*Telah dipublikasikan dalam Suara Salamn 3 Edisi November 2011

Jumat, 04 November 2011

TIDUR JUGA PERLU DISIPLIN

Beberapa teman pernah mengeluhkan bahwa anaknya sulit tidur. Bahkan yang paling ekstrim adalah anaknya tidur di siang hari dan terjaga di malam hari di saat anggota keluarga yang lain sedang tidur, dan hasilnya bisa kita bayangkan. Suatu ketika pernah ibunya "memenjarakan" diri bersama anaknya di dalam kamar dengan maksud memaksa anak tidur. Al hasil si anak menggedor-gedor pintu dengan histeris, kakek neneknya yang tidak tega akhirnya membukakan pintu untuknya.

Beberapa teman juga pernah bilang "Biar aja, nanti kalau capek juga tidur sendiri", hasilnya jam tidur anak juga tidak menentu. kadang-kadang sore, kadang-kadang malam melebihi jam tidur orang tuanya sendiri. Efeknya, ketika pagi tiba anak sulit dibangunkan untuk berangkat sekolah. Kalaupun bangun, di sekolah dia akan merasa cepat lelah dan mengantuk. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Sleep Foundation (NSF) terhadap anak berusia kurang dari 10 tahun, yang dirilis dalam artikel yang berjudul The Sleepless Generation (http://www.education.com/) menyatakan bahwa 76 % orang tua menyatakan bahwa anaknya mengalami gangguan tidur dan mereka tidak tahu bagaimana mengatasinya. Lebih kanjut, sebanyak 69% anak mengalami satu atau lebih gangguan tidur setidaknya beberapa malam dalam seminggu. Gangguan tidur yang paling umum adalah sulit tertidur, tidur berjalan, mendengkur, menolak tidur, mengalami permasalahan pernafasan, serta bernafas dengan keras saat tidur. 

NSF merekomendasikan beberapa cara untuk menertibkan jam tidur anak sehingga mereka tidak lagi mengalami gangguan tidur :

Pertama, Jadikan tidur yang cukup bagi anak sebagai salah satu isu utama yang wajib diperhatikan di rumah. Tidur bagi anak memiliki peran penting, selain seluruh fisik anak yang berkembang saat tidur pikiran anak juga memproses seluruh informasi yang diperolehnya dalam aktivitasnya seharian.

Kedua, Orang tua perlu untuk menentukan target banyaknya waktu tidur yang diperlukan anak dalam sehari, kalau perlu dibuatkan jadwal tersendiri yang harus dipatuhi

Ketiga, Ciptakan perilaku tidur yang baik. Jam tidur yang rutin, menciptakan ruang tidur yang nyaman dan kondusif untuk tidur. Mengganti baju dengan baju tidur, membacakkan cerita, membaca doa bersama anak termasuk di dalam upaya menciptakan perilaku tidur yang baik. Keberadaan televisi dan komputer sebaiknya tidak di dalam ruang tidur karena dapat mengganggu penciptaan perilaku tidur yang baik.

Keempat, Belajar mengenali gangguan tidur, tidak hanya saat anak mau tidur atau sedang tidur, namun juga saat anak beraktivitas dengan teman-temannya misal menjadi mudah marah dan cepat lelah. Gangguan tidur yang sedini mungkin di kenali akan dapat diatasi sedini mungkin pula.

Kelima, Berkonsultasi dengan dokter anak mengenai permasalahan tidur anak. Saran dari tenaga profesional akan sangat membantu kita dalam mengatasi permasalahan tidur.

Semoga anak-anak kita dapat tumbuh menjadi generasi yang sholih dan sholihah di masa yang akan datang, dan itu semua harus didukung dengan kebiasaan tidur yang baik.

Sumber : The Sleeples Generation


Jumat, 21 Oktober 2011

PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh : Kak Seto Mulyadi*

Pendahuluan
            Pada dasarnya setiap orangtua menginginkan masa depan yang gilang gemilang bagi putra-putrinya. Mereka berharap agar putra-putrinya menjadi orang yang sukses, berguna bagi Nusa dan Bangsa, berhasil dalam karir, menjadi insan yang shaleh, berilmu, bertakwa, dan berkarakter. Ini tentu menjadi dambaan kita semua, para orangtua yang mencintai putra-putrinya. Oleh karena itulah, semua orangtua sangat berperan dalam mendidik putra-putrinya dengan lebih baik lagi.

Peran Penting Orang Tua
            Mamun perlu senantiasa kita ingat bahwa anak-anak sebagai generasi yang unggul tidak akan tumbuh ddengan sendirinya. Mereka sungguh memerlukan lingkungan subur yang sengaja diciptakan untuk itu, yang memungkinkan karakter mereka berkembang dengan baik dan lebih optimal.
            Ini semua dapat dimulai sejak masa bayi. Bayi-bayi yang memperoleh berbagai rangsang mental dalam bentuk pengalaman yang kaya, juga cenderung akan memiliki perkembangan jiwa yang sehat. Pengalaman tersebut dapat berupa sentuhan yang hangat, dekapan, belaian, senandung lagu-lagu yang merdu atau dongeng-dongeng indah yang dibacakan ibu dalam suasana kasih sayang yang hangat.
            Bayi-bayi yang memperoleh sentuhan emosional demikian akan tumbuh sehat dan cerdas di kelak kemudian hari.
            Suasana yang penuh kasih sayang, mau menerima anak sebagaimana adanya, menghargai potensi anak, potensi anak, memberi rangsang-rangsang yang kaya untuk segala aspek perkembangan anak, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik, semua sungguh merupakan jawaban bagi tumbuhnya generasi unggul dan berkarakter di masa depan.
Memahami Anak
            Di sisi lain, keberhasilan suatu pendidikan juga sering dikaitkan dengan kemampuan para orang tua dalam hal memahami anak sebagi individu yang unik, dimana setiap anak dilihat sebagai individu yang memiliki potensi-potensi yang saling berbeda satu sama lain, namun saling melengkapi dan berharga. Mungkin dapat dibaratkan sebagai bunga-bunga aneka warna disuatu taman yang indah, mereka akan tumbuh dan merekah bersama.  
            Selain memahami bahwa anak merupakan individu yang unik, ada beberapa catatan lagi yang perlu kita perhatikan dalam kaitannya dengan upaya kita memahami anak. Yaitu bahwa anak adalah :
            Bukan Orang Dewasa Mini
            Anak adalaha tetap anak-anak, bukan orang dewasa ukuran mini. Mereka memiliki keterbatasanketerbatasan bila harus dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu mereka juga memiliki dunia sendiri yang khas dan harus dilihat dengan kacamata anak-anak.
            Untuk itu menghadapi mereka dibutuhkan adanya kesabaran, pengertian serta toleransi yang mendalam. Mengharapkan mereka bisa mengerti sesuatu dengan cepat dengaaan mmmembayannngkan bahwa mereka adalah orang-orang dewasa seperti kita, tentu bukan merupakan sikap yang bijaksana.
            Dunia Bermain
            Dunia mereka adalah dunia bermain, yaitu dunia yang penuh dengan spontanitas dan menyenangkan. Sesuatu akan dilakukan oleh anak dengan penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan. Namun sebalikinya akan dibenci dan dijauhi oleh anak apabila suasananya tidak menyenangkan.
            Seorang anak akan rajin belajar, melakukan pekerjaan rumahnya apabila suasana belajar adalah suasana yang menyenangkan dan menumbuhkan tantangan.
            Berkembang
            Anak selain tumbuh secara fisik, juga berkembang secara psikologis. Tidak bisa anak yang dulu sewaktu masih bayi tampak begiu lucu dan penurut, sekarang pada usia 4 tahun misalnya, juga tetap dituntut untuk lucu dan penurut. Ada fase-fase perkembangan yang dilaluinya dan anak menampilkan berbagai perilaku sesuai dengan ciri-ciri masing-masing fase perkembangan tersebut.
            Dengan memahami bahwa anak berkembang, kita akan tetap tenang dan berikap dengan tepat menghadapi berbagai gejala yang mungkin muncul pada setiap tahap tertentu perkembangannya tersebut.
            Senang Meniru
            Anak-anak pada dasarnya senang meniru, karena salah satu proses pembentukan tingkah laku mereka adalah diperoleh dengan cara meniru. Anak-anak yang gemar membaca umumnya adalah anak-anak yag mempunyai lingkungan di mana orang-orang di sekelilingnya juga gemar membaca. Mereka meniru ibu, ayah, kakak, atau orang-orang lain di sekelilingnya yang mempunyai kebiasaan membaca dengan baik tersebut.
            Dengan demikian maka orangtua dituntut untuk bisa memberikan contoh-contoh keteladanan yang nyata akan hal-hal yang baik, termasuk perilaku bersemangat dalam mempelajari hal-hal baru.
            Kreatif
            Anak-anak pada dasarnya adalah kratif. Mereka memiliki ciri-ciri yang oleh para ahli sering digolongkan sebagai ciri-ciri individu yang kreatif, misalnya: rasa ingin tahu yang besar, senang bertanya, imajinasi yang tinggi, minat yang luas, tidak takut salah, berani menghadapi resiko, bebas dalam berpikir, senang akan hal-hal yang baru, dan sebagainya. Namun sering dikatakan bahwa begitu anak masuk ke sekolah, kreativitas anak pun semakin menurun. Hal ini sering menyebabkan karena pengajaran di TK dan SD terlalu menekankan pada cara berpikir secara konvergen, sementara cara berpikir secara divergen kurang dirangsang.
             Dalam hal ini maka orang tua perlu memahami kreativitas yang ada pada diri anak-anak, dengan bersikap luwes dan kreatif pula. Bahan-bahan pelajaran di sekolah, termasuk bahan ulangan dan ujian hendaknya tidak sekedar menuntut anak untuk memberikan satu-satunya jawaban yang benar menurut guru atau kunci Kepada mereka tetaplah perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya secara “liar”, dengan menerima dan menghargai adanya alternatif jawaban yang kreatif.
            Begitu pula orang tua di rumah, hendaknya tidak selalu hanya memaksakan kehendaknya terhadap anak-anak, namun secara rendah hati tetap harus menerima gagasan-gagasan anak yang mungkin tampaknya aneh dan tidak lazim. Sebab hanya dengan demikian anak peun akan terpacu untuk belajar dengan motivasi yang tinggi.
            Anak-anak yang dihargai cenderung akan terhindar dari berbagai masalah psikologis tumbuh dan berkembang secara lebih optimal.

            Pedidikan
            Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
            Untuk itu, peserta didik seyogyanya bisa dilibatkan untuk memahami potensi unggul masing-masing untuk dapat dikembangkan melalui kegiatan pendidikan yang tepat baik formal, non formal maupun informal. Dalam teori Multiple Intelligence yang dikemukakan oleh Howard Gardner, dikemukakan bahwa ada 8 jenis unsur kecerdasan yang dimiliki seseorang, yaitu:
  • Kecerdasan matematika-logika
  • Kecerdasan bahasa
  • Kecerdasan musikal
  • Kecerdasan visual spasial
  • Kecerdasan kinestik
  • Kecerdasan inter-personal
  • Kecerdasan intra-personal
  • Kecerdasan naturalis
Kecerdasan Matematika-Logika sendiri memuat kemampuan seseorang dalam berfikir secara induktif dan deduktif, kemampuan berfikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisa pola angka-angka serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir.
Anak dengan kecerdasan matematika-logika tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisa dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, yaitu misalnya menyusun hipotesis, mengadakan kategorisasi, dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapinya. Anak-anak semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika.
Apabila kurang memahami, maka mereka akan cenderung untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang dipahami tersebut. Anak-anak ini juga sangat menyulai berbagai macam permainan yang banyak melibatkan kegiatan berfikir aktif, seperti: catur, bermain teka-teki, dan sebagainya.
Kecerdasan Bahasa memuat kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kaa, baik secara tertulis maupun lisan dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya.
Anak-anak dengan kecerdasan bahasa yang tinggi, umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa, seperti: membaca, menulis karangan, membaca puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Anak-anak seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat misalnya terhadap nama-nama seseorang, istilah-istilah baru maupun hal-ahal yang sifatnya detail. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa baru, anak-anak ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Kecerdasan Musikal memuat kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara non verbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama yang indah, apakah itu melalui  senandung yang dilagukannya sendiri, mendengarkan kaset, radio, pertunjukkan orkestra atau alat musik yang dimainkannya sendiri. Mereka juga lebih mudah mengingat sesuatu dengan mengekspresikan gagasan-gagasannya apabila dikaitkan dengan musik.
 Kecerdasan Visual Spasial membuat kemampuan seseorang untuk memahami secara ebih mendalam mengenai hubungan antara obyek dan ruang. Anak-anak ini memiliki kemampuan misalnya untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya, atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual spasial ini. Anak-anak demikian akan unggul dalam permainan mencari jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan misalnya.
Kecerdasan Kinestik memuat kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Hal ini dapat dijumpai pada anak-anak yang unggul pada salah satu cabang ola raga, seperti misalnya: bulu tangkis, sepak bola, tenis, renang, basket, dan sebagainya. Atau bisa pula tampil pada anak-anak yang pandai menari, terampil bermain akrobat atau unggul dalam bermain sulap.
Kecerdasan Inter-personal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain, sehingga mudah dalam bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial, dimana seorang anak mampu menjalin persahabatan yang akrab dengan teman-temannya, juga termasuk kemampuan seperti memimpin, mengorganisasi, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari anak yang lain, dan sebagainya.
Kecerdasan Intra-personal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Anak-anak semacam ini senang melakukan introspeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa diantaranya cenderung menyukai kesunyian, kesendirian, merenung dan berdialog dengan dirinya sendiri.
Kecerdasan Naturalis yaitu kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan alam. Misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, hutan, dan sebagainya. Anak-anak dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda di angkasa, dan sebaginya.
Melalui konsepnya mengenai kecerdasan multipel atau kecerdasan ganda ini, Gardner inngin mengoreksi keterbatasan cara berfikir yang konvensional mengenai kecerdasan. Dimana kecerdasan seolah-olah hanya terbatas pada apa yang diukur oleh beberapa test intelegensi yang sempit saja, atau sekedar melihat prestasi yang ditampilkan sesorang anak melalui ulangan maupun ujian di seklah belaka.
Dengan memahami konsep kecerdasan sebagaimana diatas, para orang tua dan guru di dorong untuk lebih bisa memahami jenis kecerdasan putra-putrinya, sekaligus untuk dapat memanfaatkan jenis kecerdasan tersebut untuk mengembangkan potensinya.
Kecerdasan Emosional
Beberapa ahli mengatakan bahwa generasi sekarang cenderung mulai banyak ang mengalami kesulitan emosional, seperti misalnya: mudah merasa kesepian dan pemurung, mudah cemas, mudah bertindak agresif, kurang menghargai sopan santun dan sebagainya.
Ini semua akan merugikan perkembangan anak-anak itu sendiri, meskipun mereka tampil sebagai anak-anak yang pintar di sekolah.
Kecerdasan angka IQ yang tinggi bukan merupakan satu-satunya jaminan bagi kesuksesan seorang anak di masa depan. Ada faktor lain yang saat ini cukup populer, yaitu: kecerdasan emosional.
Salah satu aspeknya adalah kecerdasan sosial, dimana anak memiliki kemampuan untuk mengerti dan memahami orang lain serta bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.
Selainitu, kecerdasan emosional juga meliputi kemampuan seseorang untuk mengenali emosinya sendiri serta mengelola emosi tersebut dengan cara yang benar. Di samping juga kemampuan untuk memotivasi diri sendiri serta tetap bersemangat untuk meghadapi berbagai kesulita.
Kecerdasan emosional ini dapat dikembangkan pada anak-anak sejak usia dini. Sasana damai dan penuh kasih saang dalam keluarga, contoh-contoh nyata berupa sikap saling menghargai satu sama lain, ketekunan dan keuletan menghadapi kesulitan, sikap disiplin dan penuh semangat, tidak mudah putus asa, lebih banyak tersenyum dari pada cemberut, semua ini memungkinkan anak mengemangkan kemampuan yang berhubungan dengan kecerdasan emosionalnya.
Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar dan Ian Marshal dalam bukunya yang berjudul “Connecting with Our Spiritual Intelligence” (2000), meyatakan bahwa dalam otak manusia ditemukan adanya eksistensi God-Spot dalam otak menunjukkan bahwa manusia memiliki kepekaan terhadap makna hidup dan nilai-nilai kehidupan.
Kecerdasan spiritual dapat menumbuhkan fingsi manusiawi seseorang sehingga membuat mereka menjadi lebih kreatif, luwes, berwawasan luas, spontan, dapat menghadapi perjuangan hidup, menghadapi kecemasan dan kekhawatiran, dapat menjembatani antara diri sendiri dan orang lain serta menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam berguna.
Peran orangtua dalam upaya menumbuhkembangkan kecerdasan spiritual pada anak sangat penting. Sama pentingnya dalam upaya orangtua dalam menumbuhkembangkan potensi kecerdasan anak pada bidang yang lainnya. Dalam hal ini, yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:
·         Usahakan untuk tidak mematikan spontanitas anak.
·         Usahakan untuk selalu tidak berprasangka buruk pada anak maupun orang lain.
·         Upayakan agar dapat mendidik dan membesarkan anak dengan kasih sayang serta keakraban dalam lingkungan keluarga.
·         Tumbuhkan rasa percaya diri anak dengan tidak melakukan kekerasan sehingga mengakibatkan anak menjadi takut mencoba sesuatu yang baru serta dapat mengambil kesimpulan yang keliru terhadap suatu peristiwa.
·         Upayakan agar anak dapat membuat dan memiliki prioritas hidup
Penutup
Anak-anak unggul dan berkarakter pada dasarnya tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka sunggih memerlukan lingkungan subur yang diciptakan untuk itu, yang memungkinkan poensi mereka dapat tumbuh secara optimal. Dalam hal ini orangtua dan guru, memainkan peranannya yan sangat penting.
Oleh karena itu tentunya dibutuhkan suatu kesungguhan dari kita semua, para oragtua dan guru untuk secara tekun dan rendah hati melakukan hal-hal ang terbaik bagi anak-anak.
Kiranya uaraian di atas dapat memberikan sedikit wawasan bagi kita semua untuk usaha-usaha tersebut.
Semoga
Yogyakarta, 21 Agustus 2011


* Psikolog, Mantan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak
Disampaikan dalam Seminar Parenting Islami, RDK 1432 H
Ahad 21 Agustus 2011


Kepustakaan
Amabile, T.M. (1989). Growing up creative. New York: Crown PPublisher, Inc
Gardner, Howard. (1993). Multiple Intelligences. New York: Basic Books HarperCollins Publ, Inc
Goleman, D. (1995) Emotional Intelligence. New York: Bantam Books
Gordon, T. (1996) Menjadi Orang Tua Efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lewis, D. (1982) How to be a gifted parent. New York: Berkeley Books
Papalia, Diane E. & S.W Olds. (1995) Human Development. New York: McGraw- Hill, Inc