Jumat, 21 Oktober 2011

PENDIDIKAN KARAKTER

Oleh : Kak Seto Mulyadi*

Pendahuluan
            Pada dasarnya setiap orangtua menginginkan masa depan yang gilang gemilang bagi putra-putrinya. Mereka berharap agar putra-putrinya menjadi orang yang sukses, berguna bagi Nusa dan Bangsa, berhasil dalam karir, menjadi insan yang shaleh, berilmu, bertakwa, dan berkarakter. Ini tentu menjadi dambaan kita semua, para orangtua yang mencintai putra-putrinya. Oleh karena itulah, semua orangtua sangat berperan dalam mendidik putra-putrinya dengan lebih baik lagi.

Peran Penting Orang Tua
            Mamun perlu senantiasa kita ingat bahwa anak-anak sebagai generasi yang unggul tidak akan tumbuh ddengan sendirinya. Mereka sungguh memerlukan lingkungan subur yang sengaja diciptakan untuk itu, yang memungkinkan karakter mereka berkembang dengan baik dan lebih optimal.
            Ini semua dapat dimulai sejak masa bayi. Bayi-bayi yang memperoleh berbagai rangsang mental dalam bentuk pengalaman yang kaya, juga cenderung akan memiliki perkembangan jiwa yang sehat. Pengalaman tersebut dapat berupa sentuhan yang hangat, dekapan, belaian, senandung lagu-lagu yang merdu atau dongeng-dongeng indah yang dibacakan ibu dalam suasana kasih sayang yang hangat.
            Bayi-bayi yang memperoleh sentuhan emosional demikian akan tumbuh sehat dan cerdas di kelak kemudian hari.
            Suasana yang penuh kasih sayang, mau menerima anak sebagaimana adanya, menghargai potensi anak, potensi anak, memberi rangsang-rangsang yang kaya untuk segala aspek perkembangan anak, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotorik, semua sungguh merupakan jawaban bagi tumbuhnya generasi unggul dan berkarakter di masa depan.
Memahami Anak
            Di sisi lain, keberhasilan suatu pendidikan juga sering dikaitkan dengan kemampuan para orang tua dalam hal memahami anak sebagi individu yang unik, dimana setiap anak dilihat sebagai individu yang memiliki potensi-potensi yang saling berbeda satu sama lain, namun saling melengkapi dan berharga. Mungkin dapat dibaratkan sebagai bunga-bunga aneka warna disuatu taman yang indah, mereka akan tumbuh dan merekah bersama.  
            Selain memahami bahwa anak merupakan individu yang unik, ada beberapa catatan lagi yang perlu kita perhatikan dalam kaitannya dengan upaya kita memahami anak. Yaitu bahwa anak adalah :
            Bukan Orang Dewasa Mini
            Anak adalaha tetap anak-anak, bukan orang dewasa ukuran mini. Mereka memiliki keterbatasanketerbatasan bila harus dibandingkan dengan orang dewasa. Selain itu mereka juga memiliki dunia sendiri yang khas dan harus dilihat dengan kacamata anak-anak.
            Untuk itu menghadapi mereka dibutuhkan adanya kesabaran, pengertian serta toleransi yang mendalam. Mengharapkan mereka bisa mengerti sesuatu dengan cepat dengaaan mmmembayannngkan bahwa mereka adalah orang-orang dewasa seperti kita, tentu bukan merupakan sikap yang bijaksana.
            Dunia Bermain
            Dunia mereka adalah dunia bermain, yaitu dunia yang penuh dengan spontanitas dan menyenangkan. Sesuatu akan dilakukan oleh anak dengan penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan. Namun sebalikinya akan dibenci dan dijauhi oleh anak apabila suasananya tidak menyenangkan.
            Seorang anak akan rajin belajar, melakukan pekerjaan rumahnya apabila suasana belajar adalah suasana yang menyenangkan dan menumbuhkan tantangan.
            Berkembang
            Anak selain tumbuh secara fisik, juga berkembang secara psikologis. Tidak bisa anak yang dulu sewaktu masih bayi tampak begiu lucu dan penurut, sekarang pada usia 4 tahun misalnya, juga tetap dituntut untuk lucu dan penurut. Ada fase-fase perkembangan yang dilaluinya dan anak menampilkan berbagai perilaku sesuai dengan ciri-ciri masing-masing fase perkembangan tersebut.
            Dengan memahami bahwa anak berkembang, kita akan tetap tenang dan berikap dengan tepat menghadapi berbagai gejala yang mungkin muncul pada setiap tahap tertentu perkembangannya tersebut.
            Senang Meniru
            Anak-anak pada dasarnya senang meniru, karena salah satu proses pembentukan tingkah laku mereka adalah diperoleh dengan cara meniru. Anak-anak yang gemar membaca umumnya adalah anak-anak yag mempunyai lingkungan di mana orang-orang di sekelilingnya juga gemar membaca. Mereka meniru ibu, ayah, kakak, atau orang-orang lain di sekelilingnya yang mempunyai kebiasaan membaca dengan baik tersebut.
            Dengan demikian maka orangtua dituntut untuk bisa memberikan contoh-contoh keteladanan yang nyata akan hal-hal yang baik, termasuk perilaku bersemangat dalam mempelajari hal-hal baru.
            Kreatif
            Anak-anak pada dasarnya adalah kratif. Mereka memiliki ciri-ciri yang oleh para ahli sering digolongkan sebagai ciri-ciri individu yang kreatif, misalnya: rasa ingin tahu yang besar, senang bertanya, imajinasi yang tinggi, minat yang luas, tidak takut salah, berani menghadapi resiko, bebas dalam berpikir, senang akan hal-hal yang baru, dan sebagainya. Namun sering dikatakan bahwa begitu anak masuk ke sekolah, kreativitas anak pun semakin menurun. Hal ini sering menyebabkan karena pengajaran di TK dan SD terlalu menekankan pada cara berpikir secara konvergen, sementara cara berpikir secara divergen kurang dirangsang.
             Dalam hal ini maka orang tua perlu memahami kreativitas yang ada pada diri anak-anak, dengan bersikap luwes dan kreatif pula. Bahan-bahan pelajaran di sekolah, termasuk bahan ulangan dan ujian hendaknya tidak sekedar menuntut anak untuk memberikan satu-satunya jawaban yang benar menurut guru atau kunci Kepada mereka tetaplah perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya secara “liar”, dengan menerima dan menghargai adanya alternatif jawaban yang kreatif.
            Begitu pula orang tua di rumah, hendaknya tidak selalu hanya memaksakan kehendaknya terhadap anak-anak, namun secara rendah hati tetap harus menerima gagasan-gagasan anak yang mungkin tampaknya aneh dan tidak lazim. Sebab hanya dengan demikian anak peun akan terpacu untuk belajar dengan motivasi yang tinggi.
            Anak-anak yang dihargai cenderung akan terhindar dari berbagai masalah psikologis tumbuh dan berkembang secara lebih optimal.

            Pedidikan
            Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya.
            Untuk itu, peserta didik seyogyanya bisa dilibatkan untuk memahami potensi unggul masing-masing untuk dapat dikembangkan melalui kegiatan pendidikan yang tepat baik formal, non formal maupun informal. Dalam teori Multiple Intelligence yang dikemukakan oleh Howard Gardner, dikemukakan bahwa ada 8 jenis unsur kecerdasan yang dimiliki seseorang, yaitu:
  • Kecerdasan matematika-logika
  • Kecerdasan bahasa
  • Kecerdasan musikal
  • Kecerdasan visual spasial
  • Kecerdasan kinestik
  • Kecerdasan inter-personal
  • Kecerdasan intra-personal
  • Kecerdasan naturalis
Kecerdasan Matematika-Logika sendiri memuat kemampuan seseorang dalam berfikir secara induktif dan deduktif, kemampuan berfikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisa pola angka-angka serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir.
Anak dengan kecerdasan matematika-logika tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisa dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, yaitu misalnya menyusun hipotesis, mengadakan kategorisasi, dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapinya. Anak-anak semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika.
Apabila kurang memahami, maka mereka akan cenderung untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang dipahami tersebut. Anak-anak ini juga sangat menyulai berbagai macam permainan yang banyak melibatkan kegiatan berfikir aktif, seperti: catur, bermain teka-teki, dan sebagainya.
Kecerdasan Bahasa memuat kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kaa, baik secara tertulis maupun lisan dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya.
Anak-anak dengan kecerdasan bahasa yang tinggi, umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa, seperti: membaca, menulis karangan, membaca puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Anak-anak seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat misalnya terhadap nama-nama seseorang, istilah-istilah baru maupun hal-ahal yang sifatnya detail. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa baru, anak-anak ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Kecerdasan Musikal memuat kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara non verbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama yang indah, apakah itu melalui  senandung yang dilagukannya sendiri, mendengarkan kaset, radio, pertunjukkan orkestra atau alat musik yang dimainkannya sendiri. Mereka juga lebih mudah mengingat sesuatu dengan mengekspresikan gagasan-gagasannya apabila dikaitkan dengan musik.
 Kecerdasan Visual Spasial membuat kemampuan seseorang untuk memahami secara ebih mendalam mengenai hubungan antara obyek dan ruang. Anak-anak ini memiliki kemampuan misalnya untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya, atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan. Kemampuan membayangkan suatu bentuk nyata dan kemudian memecahkan berbagai masalah sehubungan dengan kemampuan ini adalah hal yang menonjol pada jenis kecerdasan visual spasial ini. Anak-anak demikian akan unggul dalam permainan mencari jejak pada suatu kegiatan di kepramukaan misalnya.
Kecerdasan Kinestik memuat kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah. Hal ini dapat dijumpai pada anak-anak yang unggul pada salah satu cabang ola raga, seperti misalnya: bulu tangkis, sepak bola, tenis, renang, basket, dan sebagainya. Atau bisa pula tampil pada anak-anak yang pandai menari, terampil bermain akrobat atau unggul dalam bermain sulap.
Kecerdasan Inter-personal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain, sehingga mudah dalam bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan semacam ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial, dimana seorang anak mampu menjalin persahabatan yang akrab dengan teman-temannya, juga termasuk kemampuan seperti memimpin, mengorganisasi, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari anak yang lain, dan sebagainya.
Kecerdasan Intra-personal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Anak-anak semacam ini senang melakukan introspeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa diantaranya cenderung menyukai kesunyian, kesendirian, merenung dan berdialog dengan dirinya sendiri.
Kecerdasan Naturalis yaitu kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan alam. Misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, hutan, dan sebagainya. Anak-anak dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda di angkasa, dan sebaginya.
Melalui konsepnya mengenai kecerdasan multipel atau kecerdasan ganda ini, Gardner inngin mengoreksi keterbatasan cara berfikir yang konvensional mengenai kecerdasan. Dimana kecerdasan seolah-olah hanya terbatas pada apa yang diukur oleh beberapa test intelegensi yang sempit saja, atau sekedar melihat prestasi yang ditampilkan sesorang anak melalui ulangan maupun ujian di seklah belaka.
Dengan memahami konsep kecerdasan sebagaimana diatas, para orang tua dan guru di dorong untuk lebih bisa memahami jenis kecerdasan putra-putrinya, sekaligus untuk dapat memanfaatkan jenis kecerdasan tersebut untuk mengembangkan potensinya.
Kecerdasan Emosional
Beberapa ahli mengatakan bahwa generasi sekarang cenderung mulai banyak ang mengalami kesulitan emosional, seperti misalnya: mudah merasa kesepian dan pemurung, mudah cemas, mudah bertindak agresif, kurang menghargai sopan santun dan sebagainya.
Ini semua akan merugikan perkembangan anak-anak itu sendiri, meskipun mereka tampil sebagai anak-anak yang pintar di sekolah.
Kecerdasan angka IQ yang tinggi bukan merupakan satu-satunya jaminan bagi kesuksesan seorang anak di masa depan. Ada faktor lain yang saat ini cukup populer, yaitu: kecerdasan emosional.
Salah satu aspeknya adalah kecerdasan sosial, dimana anak memiliki kemampuan untuk mengerti dan memahami orang lain serta bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia.
Selainitu, kecerdasan emosional juga meliputi kemampuan seseorang untuk mengenali emosinya sendiri serta mengelola emosi tersebut dengan cara yang benar. Di samping juga kemampuan untuk memotivasi diri sendiri serta tetap bersemangat untuk meghadapi berbagai kesulita.
Kecerdasan emosional ini dapat dikembangkan pada anak-anak sejak usia dini. Sasana damai dan penuh kasih saang dalam keluarga, contoh-contoh nyata berupa sikap saling menghargai satu sama lain, ketekunan dan keuletan menghadapi kesulitan, sikap disiplin dan penuh semangat, tidak mudah putus asa, lebih banyak tersenyum dari pada cemberut, semua ini memungkinkan anak mengemangkan kemampuan yang berhubungan dengan kecerdasan emosionalnya.
Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar dan Ian Marshal dalam bukunya yang berjudul “Connecting with Our Spiritual Intelligence” (2000), meyatakan bahwa dalam otak manusia ditemukan adanya eksistensi God-Spot dalam otak menunjukkan bahwa manusia memiliki kepekaan terhadap makna hidup dan nilai-nilai kehidupan.
Kecerdasan spiritual dapat menumbuhkan fingsi manusiawi seseorang sehingga membuat mereka menjadi lebih kreatif, luwes, berwawasan luas, spontan, dapat menghadapi perjuangan hidup, menghadapi kecemasan dan kekhawatiran, dapat menjembatani antara diri sendiri dan orang lain serta menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam berguna.
Peran orangtua dalam upaya menumbuhkembangkan kecerdasan spiritual pada anak sangat penting. Sama pentingnya dalam upaya orangtua dalam menumbuhkembangkan potensi kecerdasan anak pada bidang yang lainnya. Dalam hal ini, yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:
·         Usahakan untuk tidak mematikan spontanitas anak.
·         Usahakan untuk selalu tidak berprasangka buruk pada anak maupun orang lain.
·         Upayakan agar dapat mendidik dan membesarkan anak dengan kasih sayang serta keakraban dalam lingkungan keluarga.
·         Tumbuhkan rasa percaya diri anak dengan tidak melakukan kekerasan sehingga mengakibatkan anak menjadi takut mencoba sesuatu yang baru serta dapat mengambil kesimpulan yang keliru terhadap suatu peristiwa.
·         Upayakan agar anak dapat membuat dan memiliki prioritas hidup
Penutup
Anak-anak unggul dan berkarakter pada dasarnya tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka sunggih memerlukan lingkungan subur yang diciptakan untuk itu, yang memungkinkan poensi mereka dapat tumbuh secara optimal. Dalam hal ini orangtua dan guru, memainkan peranannya yan sangat penting.
Oleh karena itu tentunya dibutuhkan suatu kesungguhan dari kita semua, para oragtua dan guru untuk secara tekun dan rendah hati melakukan hal-hal ang terbaik bagi anak-anak.
Kiranya uaraian di atas dapat memberikan sedikit wawasan bagi kita semua untuk usaha-usaha tersebut.
Semoga
Yogyakarta, 21 Agustus 2011


* Psikolog, Mantan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak
Disampaikan dalam Seminar Parenting Islami, RDK 1432 H
Ahad 21 Agustus 2011


Kepustakaan
Amabile, T.M. (1989). Growing up creative. New York: Crown PPublisher, Inc
Gardner, Howard. (1993). Multiple Intelligences. New York: Basic Books HarperCollins Publ, Inc
Goleman, D. (1995) Emotional Intelligence. New York: Bantam Books
Gordon, T. (1996) Menjadi Orang Tua Efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lewis, D. (1982) How to be a gifted parent. New York: Berkeley Books
Papalia, Diane E. & S.W Olds. (1995) Human Development. New York: McGraw- Hill, Inc

Rabu, 12 Oktober 2011

“Keluarga lahan persiapan besar kebangkitan Islam”

Muzna Nurhayati,S.Pd*
Pendahuluan
            Allah telah berfirman dalam Quran surat An-Nisa ayat 9:
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang meereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

            Dalam mendidik anak, ayat ini menjadi perlu untuk difahami lebih teliti. Yaitu tentang perhatian bagi para pendidik akan perlunya memiliki sifat takut dan khawatir yang benar. Menurut kata aslinya dalam bahasa arab takut adalah khouf, namun Allah menyebut dalam ayat tersebut kata “walyakshya”, artinya juga takut yang orientasinya khawatir kepada urusan kesejahteraan atat urusan dunianya.
            Rasa khawatir yang benar akan melahirkan rasa tanggung jawab yang besar dalam mengemban amanah mendidik anak sebagai titipan Allah. Dan tanggung jawab yang pertama dalam mendidik adalah tanggung jawab pendidikan Iman sebelum tanggung jawab moral, fisik, psikis, sosial, intelektual dan seksual (Abdullah Nashih Ulwan, 1990). Bekal iman yang kuat akan menjadi tangguh apabila anak juga memiliki kemampuan untuk bertahan hidup yang baik dan benar. Keduannya perlu diupayakan dimiliki, sebagai bagian dari persiapan anak-anak kita menjadi generasi yang akan mengawal kebangkitan umat ini. Allah berfirman generasi yang siap mengemban risalah ini sebagai generasi Rabbani (Quran Ali Imran: 79). Sebuah generasi yang memiliki kegemaran belajar dan suka mengajar Al-Kitab (Al-Quran). Para ulama sepakat bahwa membekali dengan dasar keimanan yang kuat akan mampu melahirkan generasi berakhlak baiklah yang akan mampu menghadapi dan menjadi pemimpin dimasanya. Sebagai Ali bin Abi Thalib berpesan “Didiklah anak kalian untuk menghadapi suatu masa yang tidak sama dengan masa kalian, jangan kau didik mereka dengan akhlaq kalian, karena mereka diciptakan bukan untuk masa era kalian, dan jangan paksakan untuk mengikuti kebiasaan/tradisi kalian, karena mereka diciptakan bukan untuk masa kalian”.
            Membekali iman dan akhlaq menjadi penting diprioritaskan dalam mendidik anak. Agar terwujud generasi baru yang Rabbani dengan ciri-ciri: “.................. Yuhibbum wayuhibbunah, adzilatin ‘alal mu’minin, a’izzatin ‘alal kaafiriin, yujahidunna fisabilillahi, wa la khaafuuna laumata laaaim.......” (Quran Surat Al-Maidah: 55).

Pendidikan aqidah dan akhlak pada anak usia dini
            Pendidikan aqidah adalah pendidikan iman, yang akan memberi dasar yang kuat kepada perilaku yang baik. Bagi anak usia dini, pendidikan iman dan masalah keyakinan adalah hal yang abstrak. Namun Abdullah Nashih Ulwan dengan pertanyaannya “Bagaimana mengenalkan Laa ilaha illa Allah kepada anak?” telah mnguraikan menjadi konkrit bagaimana inti keyakinan tersebut dapat dikenalkan pada anak usia dini yaitu dengan mengenalkan berbagai ciptaan Allah kepada anak. Dan dilakukan pembinaan terus menerus untuk yakin akan keberadaan Allah. Menurut Jallaludin yang dikutip Mansur (2005), anak sejak lahir telah membawa fitrah keagamaan, namun baru berfungsi melalui proses bimbingan dan latihan. Sedangkan tahapannya menurut Sugeng Haryadi dalam Mansur (2005) memakai cara “Taqim al-takhali an al-akhlaq al-mazmumah tsuma al tahali bi al-akhlaq al-mahmudah”. Yaitu meninggalkan akhlak buruk (takhalli) dan melaksanakan akhlak terpuji (tahalli). Sehingga pendidikan iman ini tidak hanya ditanamkan secara berkesinambungan namun harus diiringi amal perbuatan yang langsung dilakukan sebagaimana makna dari iman adalah keyakinan yang diucapkan dengan lisan, diyakini dalam hati, dan diamalkan dalam perbuatan.
            Adapun pendekatan yang perlu diperhatikan bagi anak usia dini harus memperhatikan karakteristik mereka yang penuh rasa ingin tahu, suka menirukan, egosentris, logika berfikir sederhana, perkembangan emosi yang pesat, daya ingat yang kuat, nalar yang pendek, aktif dan cepat bosan. Maka pemilihan metode dan peraga menjadi salah satu perencanaan yang tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran dan pendidikan iman bagi mereka. Metode influentif dalam pendidikan anak dalam Islam harus diprioritas digunakan, dimana metode ini lebih mengutamakan keteladanan dan perhatian, bukan tekanan dan hukuman. Bagi orang tua metode ini lebih mudah dilaksanakan, dengan terus bersabar dan bertawakal dalam prosesnya sepanjang kita masih diamanahi sebagai orangtua.

Keluarga harmonis sebagai rahasia membentuk anak soleh, pintar dan cinta Al-Quran
            Kunci utama keberhasilan pendidikan anak kita adalah keharmonisan keluarga. Menurut Ki Hajar Dewantara keluarga adalah pusat pendidikan yang utama dan pertama bagi anak. Maka keluarga yang memenuhi seluruh fungsinya yang akan mampu mewujudkan cita-cita. Keluarga yang kokoh dimulai dari pembentukan individu yang berakhlak, dan dari keluarga-keluarga yang memenuhi fungsinya yang akan mengantarkan masyarakat dan umat ini menjadi lebih baik. Sehingga keluarga yang kokoh, harmonis, dan berilmu, diharapkan dapat mewujudkan generasi yang religius, kreatif, produktif, konstruktif, dan berbudaya. Ada delapan fungsi keluarga menurut BKKBN: fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan pendidikan, reproduksi, ekonomi dan fungsi lingkungan. Atau 10 menurut rujukan Al-Quran dan Hadist: fungsi biologis, psikologis, pendidikan, sosialisasi, proteksi, perasaan, religius, ekonomis, rekreatif, dan sosial.
            Mewujudkan anak soleh, pintar dan cinta Quran merupakan pekerjaan instan. Maka cita-cita ini harus diawali dengan ayah dan ibu bersepakat menentukan potret keluarga yang akan dibangunnya. Contoh konkrit      telah diberikan Allah SWT melalui perjalanan kehidupan rasulullah dan sahabat membangun peradaban yang kokoh dimulai dari membangun keluarga yang kokoh. Sehingga arah tujuan dari keluarga dapat dikemudian ayah dan dikawal ibu dalam pelaksanaannya. Mendidik anak-anak kita memiliki jiwa cinta Allah, nabi dan islam, sederhana, pejuang, tangguh, gemar ilmu, cinta akhirat, jujur, suka menolong, perlu dimulai dengan berkomitmen membentuk keluarga yang SAMARA (sakinah-mawwadah-warahmah), dan menjalankannya sesuai fungsi dan dalam arahan nilai-nilai ilahiyah.
            Dalam keluarga, setiap anggota memiliki peran. Ayah berperan sebagai pengarah yang menanamkan nilai lewat dialog, membimbing dan melibatkan seluruh anggota keluarga. Ibu mendampingi dan mengawal pelaksanaannya. Peran ayah dan ibu sangat berpengaruh dalam melahirkan generasi yang baik. Sebagaimana dicontohkan dalam Al-Quran yang sangat ekstrem, ada yang berkontribusi besar terhadap pembentukan generasi yang baik dan sebaliknya, seperti: Keluarga Nabi Ibrahim As dan Nabi Yaqub As, Yukabid ibu dari nabi Musa atau ibundanya Maryam, Hannaf binti Farquuz istri Imran bin Sahiim bin Amuur bin Misyaan. Dan sebalikna terkisahkan pula dalam Quran tentang anaknya nabi Nuh yang dididik seorang ibu yang tidak taat pada Allah dan suaminya.
            Dengan mengoptimalkan semua peran, keluarga perlu memilih model keluarga dan dikomunikasikan dengan semua anggota keluarga. Sebagai contoh jika kita menginginkan keluarga kita sebagai Keluarga Quran, maka bagaimana isi dan misinya, apa tujuannya, apa targetnya bagi setiap anggota keluarga? semua perlu didefinisikan. Perlu dicatat dan berusaha direalisasikan. Begitu pula bila kita menginginkan menjadi keluarga yang ilmiah atau model yang lainnya, semua membutuhkan tahapan yang benar dan tepat.

Komitmen Orangtua kepada bakat dan minat positif anak.
            Tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua yang handal. Maka belajar dari mereka yang berhasil dalam rumah tangga dan keluarganya adalah cara paling mudah yang bisa dilakukan. Mendampingi anak-anak tumbuh menjadi besar, juga bagian yang harus dilalui. Maka perlu adanya kegiatan dalam keluarga yang baik dan terjaga, seperti meluangkan waktu untuk “Acara Keluarga Ceria”, membiasakan “Rapat Keluarga”, menyediakan ruang/waktu “belajar”, keep on Contact – sms, telpon, bbm, surat...., majlis Ta’lim Keluarga & Kerabat/Arisan, brain storming....dsb. Kegiatan ini akan berdampak pada optimalisasi potensi anak-anak kita. Untuk dapat menyelami kemauan anak, orangtua perlu meningkatkan potensi anak-anak kita. Untuk dapat menyelami kemauan anak, orangtua perlu meningkatkan intensitasnya. Bila waktunya sempit, maka harus diusahakan meninkatkan kualitasnya.
            Keteladanan, perhatian dan dukungan orangtua kepada anak dapat dilihat dari komitmennya dalam beberapa hal di bawah ini:
  1. Memilih calon ibu atau bapak anak-anak kita. Tahapan ini mulai dari memilih pasangan dan caranya. Mereka yang tidak berkomitmen dengan tahapan ini, hanya akan memberikan contoh yang tidak baik pada generasi kemudian. Dan membiasakan budaya bebas tak bertanggungjawab.
  2. Cara bergaul suami istri dalam rumah dan dalam merencanakan kelahiran anaknya. Ilmu pengetahuan teori dan praktiknya perlu didapatkan dengan baik danbenar, sehingga membekali kedua orangtua dan terencanakan dengan baik.
  3. Pergaulan keluarga di dalam rumah. Adab-adab dalam rumah tangga diterapkan dengan benar, sehingga saling asah, asih, dan asuh terjadi dalam keluarga.
  4. Membutakan arahan pendidikan anak, misal bila memilih pendidikan klasik hanya akan menghasilkan manusia fotocopy, pendidikan teknologis hanya akan menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan praktis saja, sedang pendidikan holistik membutuhkan spiritual manusianya (Sulistyo Susiawan, 2006). Warna ini akan menjadi tujuan pendidikan yang ditetapkan.
  5. Memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Saat mereka harus sekolah, apa yang diprioritaskan dipilih dari lembaga pendidikannya.  Masih banayk para orangtua lebih memilih karena faktor sarana atau kepopuleran sebuah sekolah, dibanding dengan kualitas pendidikannya. Padahal yang terpenting adalah bagaimana orangtua mencari sekolah yang memiliki visi dan misi sesuai dengan potret keluarga yang akan dibentuk. Dan bagaimana lembaga memberi perhatian terhadappendidikan para pendidiknya. Ini sudah dicontohkan para salafus shaleh dalam mendidik anak-anaknya.
  6. Pendampingan tumbuh kembang anak-anaknya. Bersemangat, bertawakal dan bersabar dalam mendidik mereka. Apabila belum berhasil janganlah putus asa. Kita diberi akal mestinya berguna bagi solusi berbagai permasalahan. Keyakinan bahwa kita bisa membawa keluarga kita tetap bersama untuk menetap di taman surga perlu ditananmkan pada semua anggota keluarga.
  7.  Keikhlasan dalam mendidik anak-anaknya. Faktor keridhoan orangtua terhadap pengakuan kelebihan dan sekaligus kekurangannya. Yang akan mampu memberi energi positif yang besar, untuk membentuk kepibadian dan masa depannya.
Komitmen ini merupakan bentuk tanggungjawab orangtua dihadapan Allah SWT. Sebagaimana Ibnu Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah mengatakan:
“Sebagian ulama mengatakan mengatakan bahwa Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban orangtua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum anak sendiri meminta pertanggungjawaban orangtuanya. Sebagaimana seorang ayah mempunyai hak atas anaknya, maka anakpun mempunyai hak atas ayahnya”.
            Maka berbagai upaya harus dilakukan orangtua untuk mengarahkan anak agar tetap lurus dalam keridhoan Allah. Memang setiap anak memiliki karakter, bakat dan minat yang berbeda-beda. Akan tetapi ada karakter penting yang harus ditransformasikan orangtua pada anak-anaknya yang menginginkan keridhoan Allah SWT. Karakter dasar itu minimal ada sepuluh yaitu: beraqidah lurus, beribadah dengan benar, memiliki akhlak islami, berjiwa kuat, mampu berusaha dan mandiri, gemar menuntut ilmu, dapat menata dirinya, dapat mengatur waktu, senantiasa bersemangat dan bermanfaat bagi orang lain. Karakter dasar ini dapat dibentuk hanya dengan keterpaduan antara IMTAQ dan IPTEK dan dukungan kuat orangtua dan pendidik. Keterpaduan mesti terlihat pada diri orangtua terlebih dahulu sebelum mengajarkannya kepada anak. Dan dukungan dapat berbentuk spiritual seperti: doa,motivasi, saran, nasehat, perhatan, dan material seperti: dana, fasilitas dan sebagaimana.

Penutup
            Mempersiapkan anak kita untuk kebangkitan Islam harus dengan menanamkan pendidikan aqidah dan akhlak yang benar. Dan dimulai dari pendidikan dalam keluarga yang berkomitmen dengan arahan ilahiyah dalam membangun keluarga. Peradaban yang di cita-citakan hanya dapat diwujudkan oleh pilarnya yaitu individu yang matang, keluarga yang solid, umat yang sholeh dan negara yang bijak.

Referensi
AL-Quranul karim dan Hadist Nabi.
Geovani dkk, Paket Permainan Interaktif Alif, Bandung: Alif Foundation
Ibnu Abdul Hafidh suwaid, Muhammad, (2006) Cara nabi mendidik anak, Jakarta: Al-I’tishom
Ilyas, Yunahar, 2009 Kuliah Akhlaq, Yogyakarta: LPPI UMY
Mansur (2005), Pendidikan anak usia dini dalam Islam , Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nashih Ulwan, Abdullah, (1990), Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, jilid 1, dan 2, Bandung  : As-Syifa.
Nurhayati, Muzna, (2008), Pelaksanaan Pembelajaran Keimanan dan Ketaqwaan pada sentra bermain di TKIT Salman Al-Farisi 1 Yogyakarta, Laporan Penelitian. Yogyakarta : UNY
Suyanto, Slamet, (2005), Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia ini, Yogyakarta: Hikayat

* Pengurus Yayasan Salman Al Farisi Yogyakarta Bidang SDM
Disampaikan dalam Seminar Parenting Islami, RDK 1432 H
Ahad 21 Agustus 2011

Selasa, 11 Oktober 2011

4 Prinsip “Parenting”

Oleh :
DR. Bagus Riyono, M.A.*


Perspektif Psikologi Islam
“Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orangtuanya lah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi” (Hadist riwayat Bukhari, Juz 1, hlm 1292)
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tataplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada berubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-rum: 30)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (An Nahl: 78)
            “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat supaya menetapi kesabaran” (Al Asr: 1-3)
            “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Dan menjadi orang-orang yang beriman dan saling berpesan dalam kesabaran dan saling berpesan dengan kasih sayang”. (Al Balad: 12-17)

Permasalahan “Parenting”
“Banyak Pendidik yang sampai hari ini bingung tentang konsep Reward & Punishment terhadap anak. Ingin diberikan reward, tetapi ada jargon “anak adalah bintang”. Ingin diberikan punishment “ada undang2 Anak”...... lalu mana yang seharusnya ??
            Permasalahan dalam pendidikan anak dewasa ini mungkin dapat terwakili oleh pernyataan-pernyataan seorang Facebooker diatas ini. Banyak orangtua dan guru yang berusaha untuk mengadopsi ungkapan-ungkapan populer tanpa memahami makna dan filosofi di balik ungkapan tersebut. “Reward & punishment” seolah dianggap sebagai resep yang jitu untuk mendidik anak, padahal dalam sejarahnya prinsip tersebut telah banyak menimbulkan masalah di dunia industri. Konsep anak adalah bintang yng muncul dari gerakan “self esteem” banyak diadopsi tanpa pemahaman yang tercukupi. Sementara itu gerakan “self esteem” itu sendiri telah menjadi sumber keprihatinan di negara asalnya, Amerika Serikat.
            “Reward & punishment” adalah strategi motivasi yang diterapkan pada awal abad 20 terhadap pekerja pabrik-pabrik baru yang berkembang pesat sejak revolusi industri di Eropa. Menurut konsep ini buruh dianggap sebagi komponen dari mesin ekonomi yang harus dikella dem kelancaran proses produksi, dan mereka dianggap sebagai “makhluk” yang haus uang dan takut hukuman, karena pada masa itu latar belakang pendidikan mereka rata-rata rendah. Konsep ini sering diasosiasikan dengan istilah baru yaitu “stick dan carrot” yang lazim digunakan dalam dunia binatang seperti pacuan kuda atau balap anjing. “Stick” adalah togkat yang dibawa oleh sang penunggang kuda untuk memukul agar sang kuda memacu larinya, sedangkan carrot adalah iming-iming yang biasanya digantungkan dikepala kuda agar dikejar. Bagaimana bisa mereka menggunakan konsep yang terhadap binatang dan manusia? Mereka menyebut manusia sebagai “human animal”. Anak kita bukanlah buruh apalagi binatang pacuan. Lalu bagaimana cara mendididik anak yang paling baik.
            Untuk dapat mengetahui bagaimana sebaliknya kita mendidik anak, kita harus tahu dulu apa tujuan kita mendidik mereka. Untuk mengetahui tujuan kita dalam mendidik anak kita harus terlebih dahulu sebenarnya anak kita. “Anakmu bukanlah anakmu! Mereka adalah putra-putri kehidupan yang merindu!”, demikian kata Khalil Gibran. Apakah maksudnya itu?
            Sebagai muslim kita semestinya mengacu kepada Al Quran untuk menjawab pertanyaan tersebut. Banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan hakekat seorang manusia.

 Siapakah Anak Kita?
            Terdapat satu ayat dalam Al Quran yang dapat kita jadikan landasan untuk merenungkan dan memikirkan bagaimana seharusnya kita mendidik anak. Ayat tersebut adalah sebagai berikut:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah diatas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) aama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar Rum: 30)
            Ayat tersebut menyebutkan bahwa manusia diciptakan menurut fitrahnya dan diperintahkan agar tetap menjaga fitrahnya tersebut. Ayat ini kemudian dujelaskan lebih lanjut dalam Hadist Rasulullah SAW yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orangtuanya lah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani, atau seorang Majusi”
(Hadist riwayat Bukhari, Juz 1, hlm 1292)
Hadist Rasulullah SAW tersebut menjelaskan peran orangtua yang bernada peringatan, yaitu bahwa perlakuan orangtua terhadap anaknya atau pendidikan yang diberikan orangtua terhadap anaknya memiliki risiko yang dapat menyesatkan sang anak dari fitrahnya. Kita sebagai orangtua “diwanti-wanti” (Jawa) atau diperingatkan agar jangan sampai mendidik anak sehingga justru membuat sang anak melenceng dari fitrahnya. Pendidikan yang benar adalah yang sesuai dengan fitrah sang anak, yang menjaga fitrah anak sehingga tetap lurus seperti ketika mereka dilahirkan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah fitrah anak tersebut?
            Ibnu Sina menjelaskan bahwa hakekat dari fitrah seorang manusia sebagai makhluk Allah adalah tunduk pada Allah atau Muslim. Hal ini berbeda dengan konsep “Tabula Rasa” yang sering dipahami kebanyakan orang, yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan “netral” atau “kosong”. Karena fitrah manusia adalah Muslim, maka perjalanan hidu manusia di dunia ini adalah dalam rangka “kembali” pada Allah. Allah adalah Al Haq atau Kebenaran, sehingga manusia selalu merindukan  kebenaran. Ilmu pengetahuan adalah usaha manusia untuk mendapatkan kebenaran tersebut. Menurut Ibnu Sina, kebahagiaan sejati yang dialami manusia terjadi ketka dia “bertemu” dengan kebenaran. Dlalam bahasa psikologi hal ini disebut sebagai “AHA experience”, yaitu ketika seorang mendapatkan pencerahan atau idea tau ilham yang memberikan pengalaman-pengalaman tersebut secara bertahap dan berkelanjutan.
            Pada ayat lain dalam Al Quran, Allah menyebutkan bahwa fitrah manusia yang suci tersebut tidaklah manifest dalam kesadarannya, karena ketika manusia lahir Allah membuat lupa dan tidak tahu apa-apa.
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengara, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (An Nahl: 78)
Dengan memperhatikan kondisi tersebut maka inti dari parenting adalah yang pertama-tama, mengingatkan. Karena manusia pada awalnya adalah suci dan memiliki sifat lupa maka pendidikan pada intinya adalah mengingatkan kembali tersebut adalah pendengaran, penglihatan dan hati.

1. Mengingatkan
            Mengungatkan adalah kata kunci atau prinsip pertama dalam pendidikan anak atau “parenting” juga bukan dalam rangka “mencetak” pribadi-pribadi anak yang sesuai dengan keinginan orang tua maupun masyarakat. Pendidikan anak atau “parenting” juga bukan dalam rangka “mencetak” pribadi-pribadi anak yang sesuai dengan keinginan orang tua maupun masyarakat, karena “cetakan” tersebut akan ketinggalan jaman begitu anak tumbuh dewasa. Pada intinya yang perlu kita lakukan pada anak atau anak didik adalah mengingatkan mereka untuk berpegang pada sesuatu yang abadi dan universal, yaitu Kebenaran.
            Usaha untuk mengingatkan tentang kebenaran bukanlah usaha yang mudah, karena dunia ini penuh dengan godaan dan cenderung menyesatkan. Godaan-godaan duniawi biasanya bersifat dan hanya berlaku dalam waktu yang singkat. Sesuatu yang menyeret pada kelalaian itu biasanya sekedar mode, karena banyak orang melakukannya, namun hanya dalam kurun waktu tertentu. Termasuk di dalamnya adalah gaya hidup masyarakat yang berubah-ubah, atau kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dalam bidang pendidikan. Kalau kita mengikuti dan hanyut dalam mode-mode tersebut maka anak akan terombang-ambing.
            Pendidikan mapun parenting pada prinsipnya adalah melindungi anak dari berbagai macam ancaman dunia yang akan menyeret mereka ke jalan yang sesat. Seperti halnya para Nabi dan Rasul yang bertugas untuk meluruskan kembali umatnya yang melenceng dari jalan yang lurus. Jalan yang lurus itu adalah jalan yang sederhana, namun sifatnya abadi dan universal. Itulah jalan kebenaran. Oleh karena itu kita perlu memehami apakah kebenaran itu.

2. Kebenaran
            Sebagai muslim kita sudah sangat mengenal doktrin-doktrin tentang kebenaran, yaitu Al Quran dan Hadist. Pertanyaannya adalah bagaimana kita dapat mendidik anak kita agar selalu berpegang pada Al Quran dan Hadist, dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
            Untuk memahaimi strategi mendidik yang mengarah pada Kebenaran tersebut, kita perlu ingat bahwa ada tiga “instrument” untuk belajar yang sudah dikaruniakan Allah pada semua manusia, yaitu: pendengaran, penglihatan, dan hati. Artinya dalam mendidik anak, kita harus selalu “menyuapi” pendengaran, penglihatan, dan hati mereka dengan kebenaran.
            Pendengaran adalah instrumen untuk menangkap kata-kata. Sebagai orang tua atau guru kita harus menjaga kata-kata kita karena kata-kata itu akan mempengaruhi jiwa anak atau anak didik kita. Katakanlah yang benar meskipun itu pahit. Berkata-katalah dengan bijak dan lemah lembut, karena melalui pendengaran anak-anak akan belajar tentang sekelilingnya, dan akhlak mereka akan terbentuk.
            Penglihatan adalah instrumen yang akan menangkap perilaku dan peristiwa yang terjadi di sekeliling mereka. Anak-anak akanmenirukan apa yang mereka lihat. Oleh karena itu berperilakulah yang benar, bertindaklah sedemikian rupa agar Anda dapat menjadi teladan bagi anak-anak Anda.
            Hati adalah instrumen untuk menangkap cinta. Ketika kita salah bicara atau membuat kesalahan dalam berperilaku, berkomunikasilah dengan hati. Jagalah hati kita untuk tetap mencintai anak kita, jangan sampai kesalahan dan kemarahan kita menumbuhkan benci dalam hati kita. Cinta akan memancar dari hati kita dan merasakan oleh hati anak kita. Cinta adalah komunikasi dari hati ke hati tanpa perlu kata-kata dan tanpa harus ditunjukkan dengan perbuatan yang tidak wajar atau berlebihan.
            Mungkin dalam prakteknya kita akan menghadapi situasi yang sedemikian rupa sehingga amarah sudah tidak tertahan lagi. Rasanya sulit sekali untuk merasakan cinta itu. Lalu bagaimana? Ingat bahwa putus asa adalah dosa, dan Allah bersama orang-orang yang sabar. Sabar adalah prisip ke tiga dalam mendidik anak. Dalam Al Quran surat Al Anfal ayat 28, Allah mengingatkan “bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah  pahala yang besar”.
            Dalam situasi lain, mungkin kita merasa sudah berusaha maksimal namun belum melihat hasil yang diinginkan. Mungkin kita merasa kemampuan kita terbatas dan sudah tidak mampu lagi untuk menyampaikan kebenaran pada anak kita. Dalam situasi yang sudah di luar batas kemampuan kita tersebut kita harus ingat bahwa Allah akan menolong kita jika kita bersabar.

3. Kesabaran
            Sabar adalah sesuatu yang mudah dikatakan tetapi tidak mudah untuk dilakukan. Sabar adalah suatu pilihan sikap sekaligus perilaku ang mengandung muatan emosi yang kuat. Kadang secara kognitif kita sadar bahwa kita seharusnya bersabar, namun dorongan emosi yang sedemikian kuat dapat menyebabkan kita berperilaku yang tidak sesuai dengan pemahaman kita. Emosi harus dikendalikan dengan keimanan.
            Untuk dapat betul-betul bersabar kita harus memiliki keimanan. Keimanan bahwa Allah Maha Bijaksana dan Allah akan memberikan jalan keluar terbaik bagi permasalahan kita. Dalam kaitannya dengan pendidikan anak, kita harus yakin bahwa anak kita, hati anak kita, ada dalam genggaman Allah, dan Allah akan menunjukkan jalan yang benar. Dengan dilandasi keimanan tersebut maka Insyaallah, kita akan mampu bersabar.
            Ada beberapa orangtua yang merasa tak berdaya untuk “mengendalikan” anaknya kemudian bersikap masa bodoh lalu seolah memutuskan hubungan orangtua-anak. Kadang mungkin dengan ungkapan :sudah saya ikhlaskan dia di jalan yang sesat.” Sikap-sikap yang bernada putus asa tersebut adalah indikasi dari hilangnya kesabaran. Hilangnya kesabaran berarti kegagalan dalam engemban tugas sebagai pembimbing dan penjaga anak yang sudah diamanahkan pada kita.
            Sabar juga berlawanan dengan tergesa-gesa. Kadang dalam mendidik anak kita ingin serba cepat; cepat pintar, cepat lulus, cepat besar, cepat mandiri, cepat sukses, dan lain sebagainya. Dalam keteresa-gesaan tersebut sering, sengaja atau tidak, kita memaksakan kehendak kita terhadap anak. Kadang kehndak kita tersebut dilakukan demi memenuhi “tuntutan zaman”. “Tuntutan zaman” sesungguhnya adalah salah satu bentuk mode atau gaya hidup sesaat yang sering menyilaukan kita. Biasanya ketika kita tergesa-gesa untuk mengikuti tuntutan zaman, kita akan mengalami kekecewaan di kemudian hari karena di kemudian hari karena tuntutan zaman tersebut akan selalu berubah.
            Keterjebekan kita dalam memaksakan kehendak pada anak-anak kita untuk mengikuti tuntutan zaman menyebabkan kita lupa pada hakekat pendidikan anak, yaitu menjaganya agar tetap pada fitrahnya yang suci. Anak menjadi bahan eksploitasi untuk kepentingan orangtua, demi nama baik orangtua, agar dapat dibangga-banggakan di depan umum. Anak diperlakukan layaknya seperti “investasi” untuk menjamin kehidupan orangtua di masa depan. Biaya besar dikeluarkan untuk mendidik anak dengan harapan akan mendapat “return” yang menguntungkan. Jika hal ini terjadi maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang jiwanya kering dari kasih sayang. Padahal ketika hati menjadi keras, kepandaian dan kesuksesan tidak akan bermanfaat, tapi justru akan menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Oleh karena itu, untuk memperkuat kesabaran kita, kita harus selalu mengingatkan anak-anak kita dengan kasih sayang, atau kelembutan hati dan perakuan.

4. Kasih Sayang
            Kasih sayang adalah bagaikan matahari yang menyinari Bumi tanpa pamrih. Kasih sayang adalah ketulusan kita dalam mendidik anak demi kebaikan anak itu sendiri. Anak adalah amanah, titipan, bukan hak milik. Ketika orangtua merasa memilik anaknya, mereka akan tega menyiksa anaknya sendiri.
            Mengingatkan dengan kasih sayang artina tidak ada kepentingan pribadi orangtua terhadap perilaku anaknya. Ketika kita mendidik anak dengan kasih sayang artinya tidak ada sakit hati yang disebabkan oleh perilaku anak, apapun perilku tersebut. Kasih sayang juga berarti bahwa kita sudah memaafkan dan selalu memaafkan kelakuan sang anak, dan tidak pernah menolak ketika anak kembali. Dengan kembalinya kasih sayang, hati oangtua terbuka ebar, bagaikan samudera luas, bagi anak-anaknya.
            Dengan kasih sayang, anak akan selalu memiliki harapan untuk kembali “pulang” dari “pengembaraannya di negeri asing”. Kasih sayang memiliki kekuatan terapeutik terhadap hati anak-anak yang mungkin telah tersesat dan tergoda oleh tipuan kehidupan dunia.

Gambar 1. Empat Prinsip “Parenting” dalam Perspektif Psikologi Islam




Sang Nabi tentang Anak
Khalil Gibran
Anakmu bukanlah anakmu
Mereka adalah putra-putri Kehidupan yang merindu
Mereka terlahir melaluimu, tetapi tidak berasl darimu.
Mereka ada bersamamu  tapi bukanlah milikmu
Engkau bisa memberi mereka cintamu, tetapi ukan pikiranmu. Karena mereka punya pikiran mereka sendiri.
Engkau bisa membuatkan rumah untuk tubuh merdeka, namun jiwa mereka merdeka.
Karena jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang tidak bisa kau kunjungi, bahkan dalam mimpimu sekalipun.
Engkau boleh menjadi seperti mereka, tapi jangan memaksa mereka untuk menjadi sepertimu, karena kehidupan tidak pernah berjalan mundur, tidak pula akan terulang.
Engkau adalah busur panah, yang darinya anak-anakmu akan meluncur ke masa depan.
Sang pemanah menarikmu dengan keagungan-Nnya agar anak panah bisa melesat jauh menuju keabadian.
Melengkunglah sengan bahagia di tangan Sang Pemanah
Karena meskipun Dia mencintai anak panah yang melesat, Dia mencintai pula busur yang kuat dan tenang.




*Dosen Psikologi UGM
Disampaikan dalam Seminar Parenting Islami, RDK 1432 H
Ahad 21 Agustus 2011

Sabtu, 01 Oktober 2011

Materi Kajian Syawalan : Melestarikan Nilai Nilai Ramadhan Dalam Membentuk Karakter Bangsa

Oleh :Tulus Musthofa[i]


Ajaran Islam sudah sangat terang menjelaskan tujuan akhir beragama adalah membentuk akhlak yang mulia bahkan misi utama Nabi Muhammad SAW  diutus menjadi Rasul adalah untuk menyempurnakan Akhlak :
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Sungguh saya diutus menjadi rasul semata mata untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Semua syariat Islam mempunyai tujuan pembentukan akhlak.Salah satu ajaran islam yang sarat dengan nilai nilai pembentukan akhlak adalah ramadhan.Sebagai wahana pendidikan karakter ramadhan mengajarkan kepada kita mulai dari input, proses dan hasil dari suatu pendidikan

1.      Pertama Input .
Tidak semua orang bisa menjalani proses pendidikan ramadhan ,ada kriteria yang khusus yang harus dipenuhi sehingga orang layak menjalankan proses tersebut yaitu harus orang yang beriman.
Iman seseorang akan sangat menentukan sejauhmana keberhasilan sebuah pembentukan akhlak/karakter.
Allah Berfirman :
يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كُتِبَ عَلَى الذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
183.  Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
Seseorang yang imannya kuat akan lebih berpotensi untuk memiliki akhlak yang mulai :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللّهُ
الأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ } [إبراهيم:24-25[
24.  Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik[786] seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
25.  Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Termasuk dalam Kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala Ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. kalimat tauhid seperti Laa ilaa ha illallaah.
Siapapun yang menhendaki terwujudnya sebuah akhlak yang mulya, baik pada dataran pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa maka modal utamanya harus memiliki iman, semakin   kokoh  iman seseorang akan semakin berpeluang mempunyai akhlak yang mulia begitu pula sebaliknya jika iman lemah maka sulit akan mempunyai akhlak yang mulia , Rasulullah SAW bersabda :
أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم أخلاقا 
Orang mukmin yang paling sempurna imannya  mereka adalah yang paling baik akhlaknya.
Bulan ramadhan telah membuktikan bahwa betapapun Ramadhan penuh dengan kemuliaan ibadah didalamnya, akan tetapi hanya orang orang yang mempunyai energy iman yang cukup saja yang bisa menggunakan peluang tersebut, begitu juga hasil dari ibadah bulan ramadhan bagi bertambahnya ketaqwaan sangat ditentukan seberapa besar iman yang dimiliki seseoarang.Inilah rahasianya kenapa Rasulullah bersabda :
من صام رمضان إيمانا ً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه
Barangsiapa berpuasa atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa dosa yang lalu.
Usaha apapun untuk membentuk karakter bangsa tanpa dilandasi keimanan maka akan sia sia. Dari sini kita mempunyai kewajiban menekankan pendidikan keimanan kepada anak anak kita sedini mugkin sedalam mungkin begitu juga lembaga lembaga pendidikan kita agar masalah keimanan menjadi pondasi pendidikan kita.

2.      Kedua Proses.
Dalam hal ini dilakukan dengan bebarapa hal :
a.    Ibadah
Semua Ibadah dalam Islam disamping sebagai suatu kewajiban, jika dilaksanakan dengan benar dan baik akan berdampak pada prilaku yang positif, akan membentuk karakter. Jika kemudian suatu ibadah tidak menghasilkan prilaku yang baik maka dimata Allah akan sia sia termasuk puasa bulan ramadhan, Rasulullah bersabda
كــم مــن صائم ليس لــه مــن صيامــه الا الجـــوع والعــطش
Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapat apa apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga.
Untuk membentuk generasi yang unggul harus didorong agar anak anak kita menjadi generasi yang rajin ibadah.Apapun konsep pendidikan karakter yang tidak dibarengi dengan semangat beribadah maka akan sia sia dan kehilangan arah.
Disinilah kenapa Allah menyediakan beberapa keistimewaan ibadah dalam bulan ramadhan agar nantinya bisa mendukung keberhasilan misi puasa untuk menjadi orang yang taqwa
b.    Ilmu
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya alquran dan didahului dengan ayat iqra’ bacalah yang menekankan umat ilsam  agar orang Islam  menjadi orang yang berilmu khususnya terkait dengan kandungan alquran.
Menyiapkan generasi yang berkarakter dan berakhlak mulia harus dengan mengajarkan alquran : membacanya ,memahaminya, menghafalkannya dan mengamalkannya:
ان هذا القران يهدى للتى هي اقوم
9.  Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,
c.     Menciptakan lingkungan yang baik dan menjauhkan dari lingkungan yang jelek
Lingkungan yang baik akan akan memberi pengaruh yang besar pada pembentukan akhlak yang baik, begitu pula sebaliknya lingkungan yang jelek juga akan berpengaruh pada karakter seseorang.Tidak sedikit orang yang asalnya baik ketika dilingkungan yang mendukungnya ketika berada dilingkungan yang jelek berubah pula menjadi jelek.
Ketika datang ramadhan kata Rasuulullah SAW mengatakan dibukalah pintu pintu sorga,ditutup pintu neraka dan dibelenggulah syaithan.
Hadist ini memberi isyarat bagaimana pentingnya lingkungan yang baik, suasana relegius dengan banyaknya keutamaan ibadah, begitu juga kondisi yang biasa mendorong pebuatan jelek berupa hawa nafsu dan syaithan dijauhkan dengan berpuasa.
Usaha apapun untuk membentuk generasi yang berkarakter/ berakhlak mulia akan sia sia ketika tidak diciptakan lingkungan yang baik dimulai dari keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat
d.    Melatih kepedulian sosial
Salah satu nilai yang sangat asasi didalam menjalankan ibadah puasa adalah mengasah kecerdasan social dan hal ini langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW dimana kalau Rasulullah diluar ramadhan memang seorang pemurah maka lebih lebih ketika dibulan ramadhan yang digambarkan seperti angin yang menghembus kencang.
Puasa dan sedekah bisa melahirkan karakter sosial yang positif; melahirkan rasa kepedulian terhadap sesama. Rasa lapar dan dahaga bisa membuat seorang mukmin terdorong meringankan penderitaan sebagian masyarakatnya. Sedekah juga menepis sifat kikir dan pelit serta melatih seseorang untuk peduli dan mengasihi sesama.  Allah SWT.  berfirman: “ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. (QS At-Taubah 103).

3.      Ketiga Out Put
Jika inputnya baik begitu prosesnya maka akan menghasilkan hasil yang baik yaitu berupa akhlak/ karakter yang digambarkan oleh al qur’an sebagai orang taqwa yang diantara kriterianya adalah seperti yang tercantum didalam surat ali imran ayat 134 dan ayat 135 yang artinya:
134.  (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
135.  Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.

Sungguh sangat indah jika nilai nilai yang ada didalam ramadhan kita teruskan setelah kita ber-iedul fitri yang nantinya tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan kita secara pribadi tapi juga akan menyelamatkan bangsa ini dari malapetaka yang tidak kita inginkan bersama, karena ketika nilai nilai ramadhan kita terapkan dalam kehiidupan diluar ramadhan akan membentuk karakter/ akhlak yang mulia bagi kita semua. Wallahu a’lam



[i] Disampaikan dalam acara syawalan PAUDIT Salman AL farisi 3 Ahad 25 September 2011