Oleh : Rahadian Akbar, S.T.
Bermain
bagi anak merupakan salah satu aktivitas yang selalu melekat pada diri anak.
Bagi mereka, bermain juga merupakan salah satu sarana untuk belajar dan
mengasah keterampilan mereka baik secara kognitif, afekktif maupun motorisnya
tergantung dari jenis permainan yang mereka mainkan. Salah satu contoh
permainan yang menggabungkan kemampuan kognitif dan motorik halus adalah
permainan video game.
Permainan
video game awalnya berkembang pada
tahun 1970an dalam bentuk mesin game
yang dioperasikan oleh koin, namun seiring waktu dan perkembangan teknologi
saat ini video game telah merambah
berbagi media digital yang ada. Beberapa platform
game yang banyak dikenal di Indoneisa
adalah PC (Personal Computer) (termasuk
notebook, dan netbook), PS (Playstation),Wii,
Xbox, dan Android (biasanya untuk smartphone
dan computer tablet).
Pada
saat anak bermain video game,
aktivitas terbesar terjadi pada otak mereka yang dirangsang oleh ketertarikan
terhadap gambar-gambar yang disajikan. Oleh karena itu kemudian bermain game diklaim dapat (1) Mengajarkan cara
berpikir kritis dan memecahkan masalah, (2) Mengajarkan cara bekerja sama, (3)
Mengajarkan tentang kegagalan, (4) dan mendatangkan perasaan senang (http://theglobejournal.com)
Namun
di luar itu semua, bermain video game
ternnyata dapat memicu kecenderungan agresitivitas pada anak. Penelitian yang
mengkaji mengenai hubungan agresivitas dan video game dilakukan pada tahun 2000 oleh Anderson dan Dill (2000). Hasil
yang didapatkan antara lain adanya hubungan positif antara perilaku kejahatan
agresif dengan bermain video game
yang mengandung kekerasan. Perilaku kejahatan non-agresif juga berhubungan
secara positif dengan sikap agresif dan bermain video game kekerasan.
Baron
(1977) mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk tingkah laku yang ditujukan
untuk membahayakan; merugikan; atau menyakiti makhluk hidup lain yang tidak
ingin diperlakukan demikian. Definisi ini mencakup: agresi sebagai tingkah
laku, terbatas pada tingkah laku yang disengaja, agresi fisik dan verbal,
ditujukan untuk makhluk hidup.
Salah
satu contoh kasus nyata dari hubungan permainan game dan agresivitas adalah peristiwa pada tahun 2011 di Amsterdam
Belanda, ketika seorang pria berumur 24 tahun bernama Tristan van der Vlis
melemparkan tembakan membabi buta di sebuah shopping mall di Alphen aan den
Rijn, 33 kilometer barat daya Kota Amsterdam. Setelah melakukan aksinya
tersebut, Tristan menembak dirinya sendiri. Peristiwa tersebut memakan enam
korban jiwa dan 17 orang luka-luka. Belakangan, diketahui bahwa tindakan
agresif Tristan disebabkan game yang
dimainkannya, Call of Duty: Modern
Warfare 2 (Hope, 2011).
Game
PC berbau kekerasan memang mencemaskan banyak pihak karena efek yang
ditimbulkannya jika dimainkan secara terus-menerus. Apalagi jika para pemainnya
adalah anak-anak yang dengan mudah menyerap hal yang dialami atau dilihatnya
dan mengaplikasikannya ke kehidupan nyata. Game-game kekerasan yang populer di kalangan
anak-anak umumnya berbentuk game
menembak (first person shooter/FPS)
seperti Conter Strike, dan Point Blank.
Namun
berdasarkan pengamatan saya pribadi semasa menjadi pegawai Game Center merangkap teknisi selama hampir 3 tahun saat kuliah
dulu, pemain yang tampak agresif adalah mereka yang justru tidak memainkan
permainan yang berbau kekerasan. Permainan yang lebih menyulut agresivitas
adalah pemainnya adalah justru permainan
sepakbola playstation seperti Winning
Eleven mapun Pro Evolution Soccer
(PES).
Perilaku
agresif yang mereka tunjukkan di antaranya adalah menggebrak-gebrak meja, menendang
kursi, memukul-mukul tembok, berteriak-teriak, memaki dengan kata-kata yang
sangat kasar, bahkan ada pula yang sampai membanting stick game yang mereka pegang secara tidak sadar. Perilaku ini
umumnya terbawa saat mereka tidak lagi bermain game yang tampak melalui bahasa tubuh dan bahasa verbal yang mereka
gunakan saat berkomunikasi dengan teman sebayanya maupun teradang ketika
berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.
Pengamatan
saya tersebut sesuai dengan hasil penelitian dua psikolog dari Universitas
Huddersfield, Inggris, Dr. Simon Goodson dan Sarah Pearson, menemukan bahwa game sepakbola menimbulkan reaksi
fisikal dan emosional yang lebih besar ketimbang game action yang berbau kekerasan. Penelitian yang dipresentasikan
di Konferensi Tahunan Komunitas Psikologi Inggris, tersebut meneliti respon
yang terjadi di dunia nyata atas sebuah peristiwa atau masalah, akan sama
dengan respon yang timbul akibat bermain video games.
Sebanyak
40 pria dan wanita dipilih secara acak untuk memainkan game kekerasan atau game
sepakbola. Pengukuran dilakukan berdasarkan denyut jantung, pernafasan, dan
aktivitas otak sebelum dan selama bermain. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
terjadi aktivitas yang kecil saat partisipan melakukan “pembunuhan” di sebuah game yang berbau kekerasan. Namun, saat
berhasil pemain berhasil mendapatkan gol atau melakukan pelanggaran (foul),
level aktivitas otak pun meningkat tajam (Hope, 2011).
Memperkenankan
anak bermain game merupakan pilihan
masing-masing orang tua. Namun ketika kita memutuskan untuk membolehkan anak
bermain game hendaknya kita
benar-benar memilihkan game terbaik
bagi anak yang lebih banyak mendatangkan kemanfaatan daripada keburukan. Kalau
perlu anak-anak kita dampingi saat bermain sembari memberikan pengawasan dan
pengarahan kepada mereka.
* Telah dimuat dalam Buletin Salman 3, Mei 2013
Rujukan
Anderson,
C. A., Dill, K. E. (2000). Video games
and aggressive thoughts,feelings, and behavior in the laboratory and life. Journal of Personalityand Social Psychology,
78, 772–90.
Baron,
Robert A. 1977. Human Aggression. New
York: Plenum Press
Hope,
Jenny, 2012. Playing football games on
computers 'makes you more aggressive', http://www.dailymail.co.uk
“Video Game
Picu Kecerdasan”, dalam http://theglobejournal.com