Rabu, 03 Juli 2013

GAME DAN AGRESIVITAS ANAK*

Oleh : Rahadian Akbar, S.T.

             Bermain bagi anak merupakan salah satu aktivitas yang selalu melekat pada diri anak. Bagi mereka, bermain juga merupakan salah satu sarana untuk belajar dan mengasah keterampilan mereka baik secara kognitif, afekktif maupun motorisnya tergantung dari jenis permainan yang mereka mainkan. Salah satu contoh permainan yang menggabungkan kemampuan kognitif dan motorik halus adalah permainan video game.

Permainan video game awalnya berkembang pada tahun 1970an dalam bentuk mesin game yang dioperasikan oleh koin, namun seiring waktu dan perkembangan teknologi saat ini video game telah merambah berbagi media digital yang ada. Beberapa platform game yang banyak dikenal di Indoneisa adalah PC (Personal Computer) (termasuk notebook, dan netbook), PS (Playstation),Wii, Xbox, dan Android (biasanya untuk smartphone dan computer tablet).

Pada saat anak bermain video game, aktivitas terbesar terjadi pada otak mereka yang dirangsang oleh ketertarikan terhadap gambar-gambar yang disajikan. Oleh karena itu kemudian bermain game diklaim dapat (1) Mengajarkan cara berpikir kritis dan memecahkan masalah, (2) Mengajarkan cara bekerja sama, (3) Mengajarkan tentang kegagalan, (4) dan mendatangkan perasaan senang (http://theglobejournal.com)
Namun di luar itu semua, bermain video game ternnyata dapat memicu kecenderungan agresitivitas pada anak. Penelitian yang mengkaji mengenai hubungan agresivitas dan video game dilakukan pada tahun 2000 oleh Anderson dan Dill (2000). Hasil yang didapatkan antara lain adanya hubungan positif antara perilaku kejahatan agresif dengan bermain video game yang mengandung kekerasan. Perilaku kejahatan non-agresif juga berhubungan secara positif dengan sikap agresif dan bermain video game kekerasan.
Baron (1977) mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk tingkah laku yang ditujukan untuk membahayakan; merugikan; atau menyakiti makhluk hidup lain yang tidak ingin diperlakukan demikian. Definisi ini mencakup: agresi sebagai tingkah laku, terbatas pada tingkah laku yang disengaja, agresi fisik dan verbal, ditujukan untuk makhluk hidup.
Salah satu contoh kasus nyata dari hubungan permainan game dan agresivitas adalah peristiwa pada tahun 2011 di Amsterdam Belanda, ketika seorang pria berumur 24 tahun bernama Tristan van der Vlis melemparkan tembakan membabi buta di sebuah shopping mall di Alphen aan den Rijn, 33 kilometer barat daya Kota Amsterdam. Setelah melakukan aksinya tersebut, Tristan menembak dirinya sendiri. Peristiwa tersebut memakan enam korban jiwa dan 17 orang luka-luka. Belakangan, diketahui bahwa tindakan agresif Tristan disebabkan game yang dimainkannya, Call of Duty: Modern Warfare 2 (Hope, 2011).
Game PC berbau kekerasan memang mencemaskan banyak pihak karena efek yang ditimbulkannya jika dimainkan secara terus-menerus. Apalagi jika para pemainnya adalah anak-anak yang dengan mudah menyerap hal yang dialami atau dilihatnya dan mengaplikasikannya ke kehidupan nyata. Game-game kekerasan yang populer di kalangan anak-anak umumnya berbentuk game menembak (first person shooter/FPS) seperti Conter Strike, dan Point Blank.
Namun berdasarkan pengamatan saya pribadi semasa menjadi pegawai Game Center merangkap teknisi selama hampir 3 tahun saat kuliah dulu, pemain yang tampak agresif adalah mereka yang justru tidak memainkan permainan yang berbau kekerasan. Permainan yang lebih menyulut agresivitas adalah  pemainnya adalah justru permainan sepakbola playstation seperti Winning Eleven mapun Pro Evolution Soccer (PES).
Perilaku agresif yang mereka tunjukkan di antaranya adalah menggebrak-gebrak meja, menendang kursi, memukul-mukul tembok, berteriak-teriak, memaki dengan kata-kata yang sangat kasar, bahkan ada pula yang sampai membanting stick game yang mereka pegang secara tidak sadar. Perilaku ini umumnya terbawa saat mereka tidak lagi bermain game yang tampak melalui bahasa tubuh dan bahasa verbal yang mereka gunakan saat berkomunikasi dengan teman sebayanya maupun teradang ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.
Pengamatan saya tersebut sesuai dengan hasil penelitian dua psikolog dari Universitas Huddersfield, Inggris, Dr. Simon Goodson dan Sarah Pearson, menemukan bahwa game sepakbola menimbulkan reaksi fisikal dan emosional yang lebih besar ketimbang game action yang berbau kekerasan. Penelitian yang dipresentasikan di Konferensi Tahunan Komunitas Psikologi Inggris, tersebut meneliti respon yang terjadi di dunia nyata atas sebuah peristiwa atau masalah, akan sama dengan respon yang timbul akibat bermain video games.
Sebanyak 40 pria dan wanita dipilih secara acak untuk memainkan game kekerasan atau game sepakbola. Pengukuran dilakukan berdasarkan denyut jantung, pernafasan, dan aktivitas otak sebelum dan selama bermain. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa terjadi aktivitas yang kecil saat partisipan melakukan “pembunuhan” di sebuah game yang berbau kekerasan. Namun, saat berhasil pemain berhasil mendapatkan gol atau melakukan pelanggaran (foul), level aktivitas otak pun meningkat tajam (Hope, 2011).
Memperkenankan anak bermain game merupakan pilihan masing-masing orang tua. Namun ketika kita memutuskan untuk membolehkan anak bermain game hendaknya kita benar-benar memilihkan game terbaik bagi anak yang lebih banyak mendatangkan kemanfaatan daripada keburukan. Kalau perlu anak-anak kita dampingi saat bermain sembari memberikan pengawasan dan pengarahan kepada mereka.

* Telah dimuat dalam Buletin Salman 3, Mei 2013

Rujukan
Anderson, C. A., Dill, K. E. (2000). Video games and aggressive thoughts,feelings, and behavior in the laboratory and life. Journal of Personalityand Social Psychology, 78, 772–90.

Baron, Robert A. 1977. Human Aggression. New York: Plenum Press

Hope, Jenny, 2012. Playing football games on computers 'makes you more aggressive', http://www.dailymail.co.uk

 “Video Game Picu Kecerdasan”, dalam http://theglobejournal.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar