Rabu, 05 Desember 2012

BELAJAR MENJADI ORANGTUA YANG EFEKTIF


Oleh
Miftahul Jannah, S.Psi*
(Wali Zahro KB SAF 3)

            Tugas sebagai orangtua sesungguhnya merupakan tugas yang amat sukar. Berjuta-Juta kaum Ibu dan Ayah yang masih muda menerima tugas yang paling sulit setiap tahunnya, yaitu memeperoleh bayi, seorang manusia kecil yang hampir tidak berdaya sama sekali. Ayah dan Ibulah yang mengemban tanggungjawab mengasuh, membesarkan serta mendidiknya. Apabila terjadi permasalahan terhadap anak kerap orangtua yang menjadi pihak yang disalahkan. Lantas siapakah yang membela orangtua? Berapa banyak usaha yang dilakukan untuk membantu orangtua agar lebih efektif dalam membesarkan dan mendampingi anak- anak mereka? Sesungguhnya saat ini sudah cukup banyak media yang dapat dipilih orangtua untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam pengasuhan anak, tinggal memilih dan memilah mana yang dirasa sesuai dengan tipologi keluarga maupun karakter orangtua sendiri.
            Kali ini Saya ingin menyajikan salah satu metode yang insyaALLOH dapat orangtua  terapkan dalam pengasuhan anak- anak di rumah, yaitu menerapkan “bahasa penerimaan”. Jika seseorang dapat merasa dan dapat mengungkapkan bahawa ia memahami serta menerima orang lain sebagaimana adanya, itu merupakan satu factor penting guna menjalin s uatu hubungan, dimana orang lain dapat tumbuh, berkembang, memecahkan masalah, produktif dan kreatif, serta mampu mengaktualisasikan potensi sepenuhnya. Demikian halnya orangtua terhadap anak. Bila anak merasa sepenuhnya diterima sebagaimana adanya, maka ia akan merasa bebas mengekspresikan dirinya dan dapat mengembangkan dirinya serta menjadi lebih baik daripada saat ini.
            Bagi orangtua, merasa ‘menerima’ anak dan menunjukkan perasaan tersebut sehingga merasakannya adalah dua hal yang berbeda. ‘Rasa menerima’ tidak aka nada pengaruhnya bagi anak bila anak tidak merasakannya. Kebanyakan orangtua menganggap bahwa “rasa menerima” merupakan sesuatu yang pasif, suatu keadaan jiwa, suatu sikap, suatu perasaan. Benar,  rasa ini berasal dari dalam tetapi agar merupakan suatu kekuatan efektif dalam mempengaruhi orang lain, haruslah secara aktif dikomunikasikan atau diperlihatkan.

MENYAMPAIKAN RASA MENERIMA TANPA KATA- KATA
            Pesan- pesan dapat disampaikan melalui kata- kata (verbal) maupun tanpa kata (nonverbal). Pesan- pesan nonverbal disampaikan melalui isyarat, sikap, ekspresi wajah, atau tingkah laku lainnya. Arahkan telunjuk akan diterima sebagai isyarat “pergi”, “jangan dekat- dekat” atau “ Aku sedang tidak mau diganggu”. Melambaikan tangan kea rah tubuh akan diterima sebagai isyarat  untuk “mendekat”, “kemarilah” atau “Aku ingin kamu bersamaku”. Pesan pertama menunjukkan rasa tidak menerima dan yang kedua menunjukkan rasa menerima.
            Orangtua juga dapat menunjukkan rasa menerima dengan tidak mencampuri kegiatan- kegiatan anaknya. Seorang anak mencoba membuat istana dari pasir misalnya. Dia menumpahkan air dan bentuk istananya sama sekali tidak menyerupai istana.  Tetapi orangtua tidak mengatakan kepada anak bahwa dia sudah membuat kotor dan istananya  jelek, melainkan ia mebiarkan saja sang anak bereksplorasi dengan kegiatannya. Sikap orangtua yang demikian akan membuat anak merasa “ Apa yang kulakukan baik”, “ Ibu/Ayah menerima apa yang kulakukan”. Dalam hal ini, tidak mencampuri anak yang sedang sibuk melakukan sesuatu adalah cara penyampaian rasa menerima tanpa kata.

MENUNJUKKAN SIKAP MENERIMA DENGAN MENDENGAR SECARA PASIF
            Tidak mengatakan sesuatu juga merupakan cara penyampaian rasa menerima.  Diam atau ‘mendengar pasif’ merupakan pesan tanpa  kata yang efektif untuk membeuat seseorang merasa diterima. Seperti contoh berikut ini:
Anak   : “Ayah, tadi temanku tidak mau berbagi kue.”
Ayah   : “Oh, ya?”
Anak   : “Iya, dia memakan kue sendirian walau pun sudah disuruh berbagi oleh Ibu guru”.
Ayah   : “Begitu”
Anak   : “Iya, hari ini aku tidak suka padanya, karena dia tidak mau berbagi.”
Ayah   : “Hmmm….”
Anak   : “Seharusnya sesame muslim saling berbagi ya, Yah.”
Ayah   : “ Hmmm….”
Anak   : “ Kalau aku pasti akan selalu berbagi kepada teman- temanku, supaya aku disayang ALLOH.”
            Dalam adegan singkat di atas, orangtua yang mendengarkan dengan pasif memungkinkan anak melihat lebih jauh daripada sekedar melaporkan bahwa temannya tidak berbagi kue.

MENGUTARAKAN PENERIMAAN DENGAN KATA- KATA
            Bicara memang penting, tetapi bagaimana orangtua berbicara kepada anak- anak adalah lebih menentukan. Berikut adalah 12 ciri tanggapan orangtua ketika berbicara dengan anak- anak mereka dan ternyata merupakan tanggapan yang destruktif.
1.      Memerintah, mengarahkan: mengatakan kepada anak untuk  mengerjakan sesuatu, memberi perintah:
“Jangan mengeluh!”
“Jangan  bicara seperti itu kepada Ibu!”
2.      Mengancam, memperingatkan; mengatakan akibat- akibat yang akan terjadi bila anak melakukan sesuatu:
“Sekali lagi seperti itu, kau tidak boleh bermain sepak bola lagi.”
“Awas ya kalau berbuat seperti itu lagi.”
3.      Mendesak; mengatakan apa yang harus atay boleh dilakukan:
“Kamu harus selalu hormat pada orangtua.”
“Kamu tidak boleh  berbuatu begitu.”
4.      Menasihati, member penyelesaian atau saran- saran; mengatakan bagaimana cara menyelesaikan suatu masalah, member nasihat, menyediakan jawaban atau penyelesaian bagi masalah anak:
“Masuk saja ke SD X.”
“Ayah sarankan agar kamu membicarakan hal tersebut kepada gurumu.”
5.      Memberi kuliah, mengajari, member alasan logis; berusaha mempengaruhi anak dengan fakta- fakta, kontra argument, logika, informasi, atau pendapat pribadi:
“Lihatlah, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus Ibu kerjakan, karena itu kamu harus membantu Ibu.”
“Waktu Ibu seumur kamu, pekerjaan rumah yang harus Ibu kerjakan dua kali banyak daripada yang kamu kerjakan.”
6.      Menilai, mengkritik, menyalahkan, tidak setuju; membuat penilaian negative atau member pendapat negatif:
“Itu karena  kamu tidak memikirkannya dengan baik.”
“Dalam hal ini, kamu salah.”
7.      Memuji, menyetujui; melontarkan pujian, menyetujui, member penilaian positif:
“Anak seperti itu memang harus dimusuhi.”
“Menurut Ayah kamu memang benar.”
8.      Mencemooh, membuat malu; membuat anak merasa bodoh, menggolongkan anak dalam satu kategori, membuat malu:
“Kamu ini memang anak manja.”
“Dasar cengeng, begitu saja kamu sudah menangis.”
“Kenapa kamu sok tahu sekali?”
9.      Membuat interpretasi, menganalisa, mendiagnosis; mengatakan pada anak apa motivasinya, menganalisa mengapa anak melakukan atau mengatakan sesuatu:
“Itu hanya karena kamu iri hati.”
“Kamu ingin merayu Ibu, kan?”
10.  Meyakinkan, member simpati, menghibur, mendorong; berusaha agar anak merasa senang, menghilangkan perasaan- perasaan yang tidak menyenagkan, member dorongan:
“Besok kamu akan merasa lebih baik.”
“Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan.”
“Jangan khawatir, segalanya pasti akan beres.”
11.  Menyelidiki, mengusut; berusaha mencari alasan, sebab-sebab, untuk menolong menyelesaikan masalah:
“Mengapa kamu tidak suka sekolah?”
“Kapan perasaan itu mulai timbul?”
12.  Menghindar, mengalihkan perhatian, membelokan; berusaha menjauhkan anak dari masalahnya, menarik diri dari persoalan, emngalihkan perhatian, mengolok- olok:
“Sudah lupakan saja.”
“Tidak usah dibicarakan sekarang.”
“Kita bicarakan saja hal- hal yang menyenangkan.”

MEMBUKA PINTU
            Salah satu cara efektif dan konstruktif dalam menanggapi ungkapan perasaan anak- anak adalah ‘membuka pintu’ atau ‘mengundang  untuk berbicara lebih banyak’. Ini adalah tanggapan- tanggapan yang tidak berhubungan dengan pendapat, gagasan, atau perasaan si pendengar, namun yang mengundang anak untuk membagi pendapat, gagasan, atau perasaan- perasaannya dengan cara “Mendengar Aktif”, yaitu menguraikan perasaan anak dengan tepat dengan berusaha mengerti arti pesan yang disampaikan. Kemudian pengertian tersebut dinyatakan dalam kalimat dan dikirim kembali kepada anak. Contoh tanggapan sederhana dalam mendengar aktif adalah sebagai berikut:
“Ya”
“Bagus sekali”
“Hmm”
“Bagaimana?”
“Oh, begitu?”
“Coba ceritakan”
“Ceritakan lebih banyak lagi”
            Membuka pintu atau menyilakan bicara dapat emudahkan komunikasi. Hal itu mendorong orang untuk mulai atau meneruskan pembicaraan. Cara ini juga membuat masalah pada tempatnya, yaitu masalah anak; cara ini tidak mengakibatkan pengambilan masalah dari anak, sebagaimana halnya bila orangtua mengajukan pertanyaan- pertanyaan, member nasihat, mengajari, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar