Dalam ilmu psikologi, Sibling Rivalry diartikan sebagai permusuhan dan kecemburuan antara saudara kandung yang menimbulkan ketegangan diantara mereka. Bahasanya sih keliatan keren….padahal banyak orangtua dalam lingkungan saya yang mengeluhkan akibatnya. Hampir sebagian besar konflik anak yang memiliki saudara dikarenakan sibling rivalry ini.
Munculnya sibling rivalry dikarenakan perkembangan egosentris anak. Konsep egosentris adalah konsep dimana anak sedang mengembangkan konsep ke-aku-an termasuk diantaranya mengakui “Ayah dan Ibu hanya untukku”. Egosentris tidak selalu mengarah sesuatu negative tapi nantinya konsep egosentris tersebut berhubungan dengan kemampuan anak untuk memandang dirinya. Kalau si anak tidak mengukuhkan dirinya melalui egosentris maka dirinya tidak akan mampu menanggapi perbedaan yang dimiliki terhadap karakteristik berbeda dengan orang, kepercayaan diri, beradaptasi, memahami nilai-nilai toleransi dll..pokoknya banyak banget
Selain itu juga ada perkembangan anak ketika menghadapi konflik alias manajemen konflik. Di setiap tahapan umur (bahkan ketika dewasa) manajemen konflik dan konsep egosentris mengalami perubahan. Setiap masa perkembangan anak akan mempunyai cara pandang berbeda yang berpengaruh pada cara mereka menselesaikan konflik. Ketika perkembangan manajemen konflik mampu diarahkan pada sisi baik maka anak akan mampu membangun jalur penghubung antara bagian otak emosional dan bagian otak logika. Anak-anak yang demikian ketika menghadapi konflik akan berupaya untuk mencari solusi dibandingkan meluapkan emosi secara berlebihan. Nah ini dia, penting…penting banget!! Berharap ya Yah dan Bun..anak-anak kita kelak bisa begitu. Amien.
Meskipun fakta di atas menunjukkan bahwa konflik antar saudara sebagai bagian dari perkembangan anak, namun sibling rivalry harus tetap diselesaikan. Harus!! Kelak apabila sibling rivalry tidak terselesaikan maka ditakutkan konflik justru semakin membesar dan berdampak pada setiap orang yang berada dalam lingkungan mereka. Salah satu contoh kasus dari sibling rivalry yang tidak diselesaikan dengan baik adalah kutipan di bawah ini:
“ Saya, 23 tahun, anak ke 9 dari 11 bersaudara, sudah tidak tahan menghadapi, melihat, mendengar sesuatu yang ada hubungannya dengan kakak laki-laki sulung saya, sebut saja B (37 tahun). Dia sudah berkeluarga dan memiliki 3 anak, tetapi masih tinggal bersama orangtua. Dari kecil, sejak saya dapat menyimpan memori, kakak sulung saya ini sudah sangat-sangat-sangat…membuat orang lain merasa tersiksa, menderita, teraniaya batin (pernah juga fisik). Kadang kami bangun malam hari sebab ia berkelahi dengan kakak yang lain. Perkelahian ini bukan yang biasa, tetapi seperti perang saja. Tiap kali berkelahi orangtua menyembunyikan benda-benda tajam. Pernah dia berkelahi dengan kakak yang sudah menikah, yang ketika itu masih tinggal bersama orangtua. B mengusir kakak saya dan bilang kalau sudah menikah harus tahu diri, jangan menumpang terus pada orangtua. Padahal dia sendiri sampai punya anak tiga masih menumpang. Munafik ya Bu. Orangtua sering membantu dia, juga saat membuka swalayan kecil. Tetapi dia malas menjaganya. Kadang-kadang berkelahi dengan istrinya sebab dia mau tidur siang-meski bangunnya sudah siang, padahal toko sedang ramai. Istri B juga sama saja. Pernah mereka berkelahi dengan kakak nomor tiga Ketika B sudah agak tenang, istrinya memanas-manasi. Sampai barang-barang milik kakak nomor tiga dirusak, bajunya disobek-sobek dan alat elektronika dicoret dengan paku. Tetapi orangtua menutupi kejadian itu, bajunya dijahit lagi, dan alat elektronik diperbaiki. Dia juga mau menguasai barang-barang di rumah. Tak terhitung banyaknya barang miliki orangtua, kakak-kakak, bahkan punya saya yang masuk ke paviliun dia dan tidak bisa diambil lagi. Dia menggunakan mobil orangtua sesuka hatinya. Kalau adiknya mau pakai dia bilang manja banget, tidak mau naik kendaraan umum. Pernah dia akan pergi, mobil dipakai orangtua menengok orang sakit dengan diantar kakak. Pulangnya dia marah-marah, padahal yang punya kan orangtua. Sampai anak-anak B menganggap mobil itu punya Papa mereka dan orangtua dianggap meminjam.” ( artikel Kompas yang dikutip dalamhttp://kurniawan.staff.uii.ac.id/2008/09/02/konflik-saudara-kandun/.)
Sebenarnya sih banyak contoh yang bisa di angkat namun intinya sama bahwa Sibling Rivalry harus diselesaikan dengan bantuan orangtua. Kita jadi bisa membayangkan seandainya sibling rivalry tidak segera diselesaikan oleh orangtua. Muncul perasaan dikalahkan, ketidakdilan dan ketidakpuasaan bagi si anak. Hal ini tidak menutup kemungkinan makin berkembang dan muncul kekerasan antar saudara.
Hal ini beda dengan sibling rivalry yang mampu diselesaikan dengan baik. Ketika para ibu dan ayah mempersiapkan si Kakak ketika dengan cara mendiskusikan perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan anak yang baru lahir dengan anak-anak yang lebih tua, maka anak-anak yang lebih tua akan lebih menyayangi adiknya. Demikian pula dengan responsivitas para ibu dan ayah terhadap kebutuhan-kebutuhan anak perempuan yang lebih muda berkorelasi positif dengan kemampuan berbagi dan menghibur anak yang lebih muda terhadap anak yang lebih tua. Dengan demikian nantinya (suatu saat) ketika mereka tumbuh dewasa, mereka akan menjadi bersaudara yang saling melindungi dan menjaga.
Sedangkan manfaat terhadap hubungan interpersonal anak ketika sibling rivalry terselesaikan dengan baik maka anak-anak akan belajar bagaimana mereka harus menyesuaikan diri dengan orang lain. Anak-anak akan belajar bagaimana bernegosiasi dan berkompromi dengan orang lain. Anak-anak akan belajar bagaimana mengembangkan pemahaman tentang keberadaan orang lain sekaligus menghargai perasaan orang lain. Hubungan antar saudara kandung juga akan mengajarkan kepada anak-anak bahwa hidup ini tidak selalu adil dan membantu mereka untuk menerima kenyataan tersebut. Anak-anak akan belajar kesabaran dan toleransi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Anak-anak akan belajar tentang batasan-batasan orang lain dan bagaimana menerapkan batasan-batasan mereka
Sedangkan manfaat terhadap hubungan interpersonal anak ketika sibling rivalry terselesaikan dengan baik maka anak-anak akan belajar bagaimana mereka harus menyesuaikan diri dengan orang lain. Anak-anak akan belajar bagaimana bernegosiasi dan berkompromi dengan orang lain. Anak-anak akan belajar bagaimana mengembangkan pemahaman tentang keberadaan orang lain sekaligus menghargai perasaan orang lain. Hubungan antar saudara kandung juga akan mengajarkan kepada anak-anak bahwa hidup ini tidak selalu adil dan membantu mereka untuk menerima kenyataan tersebut. Anak-anak akan belajar kesabaran dan toleransi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda. Anak-anak akan belajar tentang batasan-batasan orang lain dan bagaimana menerapkan batasan-batasan mereka
Nah dari artikel http://kurniawan.staff.uii.ac.id/2008/09/02/konflik-saudara-kandun/ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menselesaikan sibling rivalry tersebut: (1) otoritas (memakai kekuasaan untuk mengakhiri konflik) (2) mediasi/informasi (memberikan saran-saran, informasi) (3) distraksi (mengubah focus atau mengalihkan pada isu-isu non konflik) (4) direktif (secara verbal dan atau fisik membatasi atau mengontrol anak-anak dari konflik yang lebih berbahaya) (5) manajemen antisipatori (melatih kemampuan anak-anak yang lebih muda dalam mengenali perasaan-perasaan dan keinginan-keinginannya ketika berinteraksi dengan saudara kandungnya yang lebih tua) dan (6) interaktif (ikut terlibat secara verbal dan/ atau fisik bersama dengan anak-anak dalam bermain, permainan, dan ketika mereka membaca buku-buku. Terkadang dalam menselesaikan konflik sibling rivalry juga membutuhkan pendekatan non intervensi yaitu ketika orangtua. Bingung yak mau pilih yang mana @_@.
Benernya sih Yah…Bun semua boleh diborong. Disesuiakan saja dengan kondisi.. Cuma bagaimana cara penyesuaian juga harus didasarkan beberapa hal. (Sekali lagi berdasarkan artikel tersebut) ada beberapa factor yang mempengaruhi peran orangtua dalam membantu menselesaikan sibling rivalry yaitu (1) keyakinan (belief) yang dimiliki orangtua (2) stereotip orangtua atas anak-anaknya (3) jenis kelamin orangtua, dll.
Intinya sih….faktor-faktor diatas membantu kita sebagai orangtua untuk lebih berhati-hati dalam membantu anak-anak ketika berselisih. Jangan sampai styreotipe dan keyakinan seperti bahwa anak tertua harus mengalah dan anak-anak selanjutnya dimenangkan, atau anak laki-laki harus lebih dominan daripada anak perempuan mempengaruhi strategi kita dalam menselesaikan konflik bersaudara. Jangan pula sampai muncul pengaruh jenis kelamin seperti pandangan bahwa ayah (laki-laki) hanya bisa melakukan pendekatan otoriter sedangkan si ibu (perempuan) hanya bisa menggunakan pendekatan mediator. Favoritisme para orangtua terhadap salah satu anaknya, misalnya, akan membuat hubungan antar saudara kandung lebih banyak diwarnai permusuhan dan agresi. Di setiap konflik perlu penanganan berbeda sehingga membutuhkan kemampuan penguasaan pendekatan terbaik demi keputusan berimbang. Jadi ngrasa kaya di pengadilan gitu gak sih…..jadi kaya hakim.
Oh iya Yah…Bun ada tambahan, orangtua secara berangsur-angsur harus memberikan kesempatan si anak untuk memulai mengambil keputusan sendiri. Momentnya disesuiakan dengan perkembangan anak yaitu ketika anak mulai belajar menghubungkan emosi dan berlogika serta mulai memasukkan pertimbangan selain kebutuhannya saja. Hal ini bertujuan supaya si anak mulai mandiri dalam mengambil keputusan. Belajar bertanggung jawab.
Fiuhhhhh….tulisannya lagi-lagi serius dan panjang banget. Cuma bisa berharap: Semoga bisa membantu…..
Lawrence E Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelegence Pada Anak, Gramedia, Jakarta, 2003.
Goleman, Emotional Intelegence, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 1999
Janine Amos dan Annabel Spenceley, Mengapa Bertengkar?, Seri Problem Solvers, Penerbit Kanisius. Jogjakarta, 2004
Krisnita Candrawati (Bunda Qila)
Tulisan ini pernah dipublish sebelumnya dalam http://abucketoflist.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar